Belakangan ini, kata "romantisasi" kian sering terdengar (atau, terbaca) di media massa. Kata ini merujuk pada penggambaran sesuatu agar tampak lebih baik atau lebih menarik daripada yang sebenarnya.Â
"Sesuatu" yang dimaksud bisa apapun, salah satunya yang mungkin masih hangat di telinga adalah romantisasi penyakit mental. Media sosial sempat cukup riuh menyebut romantisasi ketika membahas tema tersebut, tetapi apakah romantisasi itu kata yang tepat?
Sekilas barangkali "romantisasi" tampak seperti kata baku bahasa Indonesia pada umumnya. Secara kasar, mungkin terlihat seperti tersusun dari kata sifat romantis yang memperoleh sufiks -isasi untuk terbentuk menjadi kata benda. Namun, dengan logika demikian, akan ditemukan ketidaktepatan. Jika dianggap kata dasar yang diberi sufiks -isasi, maka kata dasarnya menjadi romant. Sedangkan tidak ada kata "romant" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sementara itu, apabila yang diacu adalah kata romantis yang diberi sufiks, maka akan ditemukan sufiks yang digunakan adalah -asi.
Terlebih, sufiks -isasi sendiri tidak termasuk sufiks yang "diakui" oleh bahasa Indonesia[1].
Wah, terus gimana?
Jika ditarik dari asal serapannya, romanticisation atau romanticization dalam bahasa Inggris, kata ini memiliki kata dasar romantic dengan sufiks -isation atau -ization.Â
Sufiks ini dalam bahasa Inggris memberikan makna tindakan, proses, atau hasil dari melakukan sesuatu, atau membuat sesuatu. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan terjemahan yang lebih tepat adalah "romantisisasi", alih-alih "romantisasi". Â
Sebab menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI), bentuk terikat yang berasal dari bahasa asing dapat langsung diserap bersama-sama dengan kata lain yang mengikutinya.
Itu sebabnya tidak mungkin romantisasi tersusun dari kata romantis dengan imbuhan -asi, karena merupakan serapan dari romantic-ization. Namun, romantisisasi sendiri sejauh ini belum termuat dalam KBBI.