Mohon tunggu...
Riezky Maulana
Riezky Maulana Mohon Tunggu... -

Seorang rakyat jelata yang berusaha mengadu nasib di ibu kota.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika BANK Sudah Enggan Menerima Uang Koin...

21 Maret 2012   16:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:39 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya cerita perseteruan antara nasabah dengan bank takkan ada akhirnya, kecuali pihak bank mau mencari solusi. Simak saja keluhan pembaca yang saya skrinsut dari situs detik. Memang, beberapa waktu yang lalu, saya sebagai nasabah DANAMON menanyakan juga tentang prosedur menyetorkan koin. Berdasarkan pengalaman pahit dengan BRI yang saya tulis di sini, saya berusaha mengenali bank di mana kami menjadi nasabah. Dan menurut teller yang menangani setoran kami waktu itu, boleh saja menyetor koin, asal bersedia dipotong 0.5% per idr 100.000.Dengan iseng saya menyahut, kalau begitu saya setor idr 99.500 gak kena potongan dong? Langsung kecut wajah ayu mbak teller  Saya ngetest saja kok, belum juga setor ke sana. Nah, kemarin dan hari ini, saya setor receh koin ke BRI. Maklum, demi membiayai liburan awal April nanti, saya sudah bongkar semua celengan koin. Dan demi memudahkan membawanya, tentu saja saya harus menukarkannya menjadi uang kertas toh. Celengan sudah dibongkar sejak minggu lalu. Sudah juga saya tukarkan sebagian ke Indomaret dan Alfamart. Yang koin 1.000 banyak yang minta, tapi tidak yang 500an. Mengingat Maret tinggal 10 hari lagi, maka mulai saya cicil menyetorkannya ke bank. Kemarin dan hari ini, saya setorkan 500.000. Sengaja dicicil, agar mbak teller tidak sampai teler menghitungnya. Kemarin, boleh ditinggal, nanti dihitung pas luang, kata mbak teller. Saya pun senang, yang penting uang saya diterima. Nah, tadi saya setor lagi dong. Mulai deh tatapan tak menyenangkan itu terasa ketika mbak teller melihat tentengan saya. Yang satu malah langsung bertanya, mau setor lagi bu? Tentu saja saya mengangguk berseri-seri, dan cuek dengan raut wajah mereka yang masam. Bertukar pandanglah mereka antar teller. Kemudian giliran kami maju. Saya letakkan kresek recehan yang sudah rapi saya bungku per 50.000, disusun rapi berurutan di hadapan mbak teller. Teller yang 1 bilang, brankas sudah penuh. Yang satu lagi bilang, limit hari ini sudah over. Berbekal pengalaman dengan BRI Kelapa Gading, lalu saya tanya, jadi bagaimana nasib uang saya? Diterima atau tidak nih? Apa kejadian di BRI Kelapa Gading akan terulang lagi hari ini? Tempo hari saya kira, saya ditolak di BRI Kelapa Gading karena saya bukan nasabah di sana. Ternyata di sini, tempat saya buka rekening pun memberikan alasan yang sama. Suara saya sudah naik 1 oktaf. Kali ini saya sudah siap tempur, tak mau lagi bersedih-sedih seperti waktu di Kelapa Gading. Ribut pun jadilah hari ini. “Saya mau ketemu sama orang yang mengurus pembukaan rekening di sini. Dia menjamin kalau setoran receh pun pasti diterima. Ini muka-muka baru semua, gak usah arogan deh. Masak saya harus cari pimpinan kalian untuk urusan begini? Kalau kalian tidak mau terima koin, sediainlah mesin setor koin.” merepetlah saya panjang lebar. Ada satu CSO laki-laki menyahut, emang ada bu mesin setor koin? Di mana?Saya bilang, “di Jepang sana ada.” Eh nyahut lagi dia, ya ini kan Indonesia, bu.Haduh, ini orang gak lihat situasi ya, sudah orang marah pun, masih disahuti pula. “Eh pak, saya juga tahu ini di Indonesia. Tapi bukan berarti tidak bisa ngadain mesin setor t koin ‘kan? Gampang kok! Kalau BRI tidak sanggup nyediain mesin setor koin, mestinya tellernya gak boleh menolak kalau nasabah setorin koin. Beres ‘kan? Jadi gimana ini? Terima apa engga?!” Mbak teller meraih koin saya dan bilang, ya udah saya terima aja bu. Mulailah jari-jarinya lincah memindahkan koin dari plastik saya ke plastik mereka.“Kenapa sih, gak diterima dari tadi aja mbak. Masak mesti marah-marah dulu!”Mbak teller cuma senyum sambil mulutnya komat kamit menghitung. Saya jadi merasa, kok mereka ini berspekulasi ya dengan nasabah, kalau nasabahnya penurut ya langsung pulang, dan mereka tidak capek. Jika sebaliknya, ya terima saja walau terpaksa. Jadi gitu ‘kan saya mikirnya?! Tiba-tiba datang seorang laki-laki berbaju biru gaya bos, padahal belakangan saya tahu dia bukan pimpinan di situ dari mbak teller. “Bu, masih banyak koinnya? Lain kali, koinnya dikemas per 10.000 diselotip ya.” Naik lagi suara saya 1 oktaf “eh pak, yang nyuruh saya kemasin per 50.000 itu ya orang BRI yang dulu duduk di pojok situ. Katanya memudahkan mereka menghitungnya. Tapi kalau sekarang aturannya mau dibuat per 10.000 pun saya jabanin kok. Asal kalian mau terima saja.” Kemudian dia berlalu begitu saja. Tapi, si mbak teller bilang lain lagi ke saya. “Maaf bu, besok kalau setor lagi, per 50.000 saja. Jangan diselotip ya bu, susah kami menghitungnya.”Huaaaaaaaaaa……….. pengen ngobrak abrik ruangan bank itu deh jadinya. Iki kareppe opo to yaaaaa… !!! Gak kompak gene sihhhh ??? Hallooo….? Mumet seketika! Tapi karena kasihan sama mbak teller, saya turunkan suara saya, “jadi mbak, besok per 50rb aja nih? yakin? ribut lho besok kalau ditolak lagi dan disuruh per 10rb.” Dengan mantap dia menyahut, iya bu, per 50rb saja. Terbukti lho, gak sampai 15menit mbak teller selesai menghitung ulang uang setoran kami. Lebih lama eyel-eyelannya. Makanya saya merasa aneh, kenapa mereka memilih eyel-eyelan dengan nasabah ya? Apa harus ada Bapak/Ibu menteri dulu yang coba setorin receh ke bank baru ada tindak lanjut dari pihak-pihak berwenang ya? *ah Indonesia...* Baiklah, tunggu kami besok ya, BRI WARAKAS. Jangan sampai ganti aturan lagi. Kalian tolak lagi kami besok, ramailah kita kawan! Koinku masih banyak, besok mau tak jajal ke Danamon sama BRI. Bila perlu, sekali ini tak videoin sekalian deh. Gondok kali awak dibuatnya! Sudah macam pengemis saja, padahal ‘kan … ah sudahlah! Tunggu update-an ku ya … sor kali awak menanti hari esok nih!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun