Generasi Z, generasi yang lahir di era digital, hadir sebagai penerus generasi milenial dan mendahului generasi Alfa. Mereka tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh teknologi dan media sosial atau disebut sebagai digital native. Sebagai digital native, generasi ini memanfaatkan platform online bukan hanya sebagai sarana hiburan, namun bisa dimanfaatkan untuk berkreasi dan mengekspresikan diri, contohnya melalui aplikasi TikTok, X (Twitter), Instagram, Facebook, dan lain sebagainya. Melalui konten-konten yang menarik dan kreatif, Gen Z berhasil menarik perhatian publik dan bahkan membentuk tren baru di dunia digital.
   Namun, di balik potensi positif tersebut terdapat ancaman tersembunyi yang seringkali tidak disadari. Kehidupan digital yang begitu terbuka membuat mereka rentan terhadap berbagai komentar negatif yang tersebar di media sosial, sering kali dalam bentuk ujaran kebencian (hate speech). Ancaman ini tidak hanya berpengaruh terhadap individu secara personal, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan sosial. Ujaran kebencian atau hate speech semakin marak seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, seperti data di Kominfo Indonesia pada tahun 2024. Â
   Gen Z menjadikan media sosial sebagai tempat berinteraksi dan mendapatkan validasi sosial. Namun, penggunaan platform ini juga menghadirkan berbagai risiko, seperti komentar-komentar beracun yang berisi hinaan, provokasi, atau hasutan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa banyak generasi muda terlibat dalam kampanye sosial yang positif, tak dapat dihindari pula mereka juga sering kali terjerumus dalam praktik berbicara dengan kebencian ketika berada di ruang yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan pendapat secara bebas tanpa takut mendapatkan konsekuensi langsung. Salah satunya seperti TikTok dan X, kita masih sering menemukan komentar tidak pantas yang ditujukan pada pengguna lain, termasuk mereka yang masih di bawah umur. Keberadaan ujaran kebencian yang terus bertambah dapat mengancam kenyamanan psikologis dan sosial para pengguna.
   Salah satu alasan dibalik meningkatnya ujaran kebencian di kalangan Gen Z adalah kemudahan akses terhadap media sosial dan anonimnya identitas digital. Akibatnya, individu atau kelompok dapat dengan mudah menyampaikan komentar negatif atau bahkan menghina pihak lain tanpa rasa tanggung jawab. Tidak jarang ujaran kebencian ini dipicu oleh dendam pribadi atau ketidaksenangan antar kelompok, yang pada akhirnya memicu pembentukan kelompok tertentu yang memperkeruh suasana dengan menyebarkan komentar negatif secara masif. Ancaman ini tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan emosional individu yang menjadi sasaran, tetapi juga menciptakan lingkungan yang penuh ketegangan.Jika melihat ke belakang contoh nyata dari dampak ujaran kebencian dapat dilihat pada kasus-kasus yang melibatkan figur publik. Contohnya, Aurel Hermansyah sering kali menjadi sasaran komentar negatif di media sosial setelah melahirkan. Banyak netizen yang dengan bebas mengomentari fisiknya pasca melahirkan, hingga menyebabkan sang artis mengalami rasa tidak percaya diri atau insecure. Kata-kata yang dilontarkan ini sangat menyakitkan dan dapat berdampak pada kondisi psikologis korban. Tidak hanya menimbulkan rasa sedih atau marah, dampak jangka panjang dari ujaran kebencian ini bahkan dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, dan dalam beberapa kasus, tindakan yang lebih ekstrem seperti bunuh diri.
   Tidak hanya itu, ujaran kebencian juga dapat menyasar tokoh politik atau figur pemerintah. Contoh, pada tahun 2017 Ropi Yatsman divonis penjara 15 bulan karena menghina Presiden Joko Widodo melalui akun media sosialnya. Aksinya melibatkan penyebaran konten bernada kebencian, bahkan mengedit foto Presiden Jokowi dan pejabat lainnya untuk menimbulkan opini negatif. Contoh ini menunjukkan bahwa ujaran kebencian tidak hanya bersifat personal, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik, serta mengancam kerukunan antar masyarakat.Â
   Pada bulan Juni 2024, sebuah insiden rasisme yang melibatkan Generasi Z terjadi di X (Twitter), yang mengundang banyak perhatian di Indonesia. Beberapa akun Twitter muda dengan jumlah pengikut besar terlibat dalam kampanye digital yang menyerang calon legislatif wanita yang berasal dari kelompok etnis minoritas. Mereka melontarkan komentar rasial yang sangat menghina terhadap calon tersebut, dengan menggunakan stereotip etnis dan agama yang memicu kebencian terhadap calon tersebut hanya karena latar belakang mereka.
   Ujaran kebencian juga dialami oleh artis bernama Fuji An. Fuji An kerap membagikan momen kebersamaannya dengan sang keponakan, Gala Sky Andriansyah. Wanita yang akrab disapa Fuji itu pernah membagikan saat-saat ketika dia berusaha untuk menidurkan Gala. Menggunakan cara lama, Fuji meniup wajah Gala untuk menidurkannya. Cara ini pun berhasil membuat gala tertidur. Namun, cara Fuji tersebut justru tak lepas dari nyinyiran netizen. Seorang pengguna akun Instagram menyayangkan sikap Fuji karena dianggap bisa menularkan virus kepada Gala. Alih-alih kesal, Fuji justru mengunggah komentar itu dengan cuplikan dirinya dan Gala yang sedang tersenyum. Singkat dan padat, Fuji menulis keterangan dalam unggahan itu, "Senyumin azaaa."
   Dari berbagai contoh di atas, jelas terlihat bahwa ancaman tersembunyi dalam bentuk ujaran kebencian di era digital sangat merugikan, baik bagi individu maupun masyarakat luas. Masalah ini bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tetapi memerlukan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat. Ketika kolaborasi tersebut dapat dilakukan, maka hate speech di ranah media sosial harapannya dapat berkurang.
   Pemerintah dapat mengatur regulasi yang lebih ketat terkait ujaran kebencian, sementara platform media sosial harus berperan dalam memantau dan menghapus konten negatif. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi digital dan etika dalam bermedia sosial, untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian di dunia digital. Dengan langkah-langkah yang tepat dan kesadaran dari masing-masing individu, ancaman tersembunyi seperti ujaran kebencian ini dapat ditekan. Harapannya, dunia digital dapat menjadi ruang yang positif dan aman bagi semua penggunanya, terutama bagi generasi Z yang akan terus tumbuh dan berperan penting dalam masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H