Mohon tunggu...
Atun Widyaningsih
Atun Widyaningsih Mohon Tunggu... -

Mengawali kesabaran dengan selalu bersyukur...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Reminder" Mimpi yang Realistis

27 Desember 2011   15:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Tulislah mimpi-mimpimu, lalu tempel di dinding kamarmu" . Kalimat ini hampir dan selalu ada di setiap acara yang kuikuti. Mulai dari training sampai kegiatan semacam workshop yang pernah diselenggarakan. Menulis mimpi sebanyak-banyaknya lalu satu per satu mimpi-mimpi itu dicoret pertanda bahwa kita sudah mencapainya. Pikiran pertama yang terlintas, seberapa besar pengaruh tulisan-tulisan itu terhadap diriku dan mimpi-mimpiku di masa yang akan datang? Tempelan tulisan itu sebagai sebuah "reminder" yang setiap saat selalu berdering mengingatkan. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dan tidak pula tertarik dengan kegiatan semacam itu, tapi berdasarkan banyak cerita dari orang-orang hebat -pembicara dalam acara-acara- kebanyakan dari mereka melakukan hal itu, dan hingga saat ini sudah banyak coretan pada kertas mimpi mereka.

Bagaimanakah dengan diriku? kalau sekadar untuk menulis, jangankan 1 lembar kertas folio bergaris, 10 lembar pun aku sanggup. Masalahnya, apa yang akan dan harus aku lakukan untuk bisa mencoret mimpi-mimpi itu satu demi satu? sampai sekarang aku belum menemukan jawaban yang tepat. Apa cukup dengan belajar, bekerja, dan berdoa? Perlu ada koreksi diri lebih intensif. Apa yang kita impikan harus realistis. Memimpikan sesuatu yang terlalu jauh juga tak terlau baik.

Saat ini, ada sekitar 50 poin tentang mimpi-mimpiku yang tertempel di dinding kamar, dan sampai saat ini belum ada satupun yang tercoret. Begitu miris. Aku mencoba berpikir panjang, mimpi-mimpiku yang tidak realistis atau usahaku yang belum maksimal? Padahal isinya hanya begini "melanjutkan sekolah keluar negeri", "dapat beasiswa", "ngajak ibu bapak makan di Pizza Hut" . Mimpi-mimpi yang standar menurutku, tidak terlalu muluk. Namun masih penuh tanda tanya. Mungkin bukannya tidak realistis, tapi mimpi-mimpi itu adalah mimpi-mimpi untuk jangka panjang.  Dan tidak mungkin dapat terwujud dalam sekejap.

Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan, begitu kalimat yang sering saya dengar. Mimpi kita bukan segala-galanya, tanpa ditulis pun Tuhan sudah mencatatnya terlebih dahulu dalam buku catatan-Nya. Dan ketika kita menyimpan mimpi-mimpi kita dalam sebuah pena, maka berikanlah penghapusnya kepada Tuhan, biarlah Ia yang akan menghapusnya kelak satu per satu .

Untuk semua teman-temanku, kita butuh mimpi yang realistis. Semangat tinggi harus kita sisihkan mulai dari sekarang. Setiap orang mempunyai potensi masing-masing. Sebagai Sang Pemimpi tugas kita adalah mengaktualisasikan potensi-potensi kita untuk menjemput mimpi itu datang menghampiri. Semangat kawan, yakinlah kita hidup untuk sebuah mimpi yang ber'permadani' kebahagiaan di dunia dan ber'payung' kebahagiaan di akhirat (amin) :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun