Mohon tunggu...
widyo hartanto
widyo hartanto Mohon Tunggu... -

saya seorang warga negara kesatuan republik indonesia yang bersendikan pancasila...:). lahir di ambarawa, jawa tengah tapi telah berkesempatan tinggal di berbagai wilayah di indonesia. sangat menerima perbedaan dan menganggap menulis dan berdiskusi adalah kegiatan yang mencerahkan. sangat suka membaca apa saja dan sangat ingin bisa menulis sesuatu yang bermanfaat. karena itu saya bergabung dengan kompasiana, karena menganggap forum ini adalah forum orang-orang pintar. harapannya, semoga jadi ikut pintar. paling tidak ikut dianggap pintar juga...:)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antri...

23 Januari 2010   18:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wilayah negara kita sungguh luas. Perbedaan waktu hingga dua jam antara wilayah timur dengan barat makin menunjukkan betapa sangat luasnya wilayah negara kita ini. Masih terekam dengan jelas bagaimana terheran-herannya dosen saya dulu, bahkan nyaris tidak percaya bahwa kami datang dari negara yang sama , karena begitu beragamnya wajah kami. Nyaris tidak ada kemiripan antara satu dengan yang lain sebagaimana penduduk negara asal dosen pengajar kami itu. Tapi itulah kenyataannya.

Namun dari berbagai perbedaan yang menyatukan Indonesia , ada satu kemiripan perilaku masyarakat yang saya temukan di hampir semua  daerah di Indonesia. Kemiripan itu adalah perilaku sulit tertib dan antri. Dan anehnya perilaku ini melanda hampir di semua strata masyarakat. Semuanya, seneng unyel-unyelan. Berdesak-desakan. Saya sering heran, misalnya saat akan boarding, kita harus berebut. Saling potong barisan. Saling desak. Padahal masing-masing kita sudah memiliki nomor tempat duduk. Tidak mungkin khan pesawat akan berangkat sebelum semua penumpang yang telah terdaftar naik?. Saya amati apa penyebab perilaku tersebut.

Ternyata akar masalahnya adalah adanya oknum. Para oknum ini ingin menguasai space bagasi dalam kabin pesawat. Mereka saya pehatikan berusaha membawa sebanyak mungkin barang bawaan kedalam kabin. Tentu saja mereka akan perlu space bagasi yang luas untuk barang-barang itu. Itulah sebabnya , begitu diumumkan agar penumpang naik ke pesawat, oknum-oknum itu segera bergegas secepat mungkin, bila perlu memotong barisan untuk segera bisa masuk dan menempatkan barang bawaannya disemua space bagasi yang tersedia. Tidak peduli penumpang lain juga memerlukan. Tidak peduli penumpang lain kebagian atau tidak. Makanya tidak heran, saya yang suka jaim dengan naik paling belakangan, sering tidak kebagian space untuk menyimpan barang meskipun tempat duduk saya biasanya berada paling depan. Saya heran kenapa mereka tidak memanfaatkan fasilitas bagasi cuma-cuma. Tapi rupanya ada alasan lain mengapa mereka tidak mau melakukan hal tersebut. Mereka malas menunggu barangnya setelah turun. Dengan taktik membawa sebanyak mungkin barang dalam kabin, mereka terhindar dari kewajiban untuk antri. Antri dan menunggu barang tentunya. Kreatif tapi njelehi. Njelehi karena membuat tidak nyaman orang lain. Njelehi karena ternyata jumlah oknumnya banyak. Dan makin bertambah banyak dari hari ke hari.

Itu yang di bandara. Maka bisa dibayangkan yang di stasiun kereta dan terminal bis. Sepertinya tidak perlu diceritakan. Yang Menarik untuk dibahas adalah mengapa masyarakat kita sulit untuk tertib termasuk sulit untuk ngantri. Menurut pengamatan saya, sikap sulit tertib dalam masyarakat selalu muncul manakala ada oknum yang memulainya. Awalnya hanya satu oknum. Terjadi pembiaran atas perilakunya, sehingga terjadi duplikasi sikap oleh oknum-oknum lainnya. Perlu juga dicatat, sikap tersebut ternyata hanya berlaku di dalam negeri. Maka tidak heran, ketika berada di luar, kita bisa begitu takzim untuk tertib dan ngantri. Mungkin karena tidak ada oknum yang memulai.

Oknum-oknum yang memulai tersebut, bila diamati ternyata memiliki alasan kuat mengapa mereka berbuat seperti itu. Meskipun bila kita tanyakan jawabannya akan beragam, tetapi pada umumnya sikap mereka itu didorong oleh satu alasan yaitu keinginan untuk lebih. Ya, keinginan untuk lebih banyak, lebih bagus, lebih luas, lebih cepat, dan lebih-lebih lainnya. Tidak percaya? Coba saja amati. Atau tanyakan pada diri kita sendiri bila kita ternyata juga termasuk oknum itu (hahahaha). Itulah alasan mengapa dulu waktu masih culun-culun, kami selalu berebut setiap akan keluar dari ruang makan, kantin, masjid, dan lain-lain. Disamping karena dikejar-kejar, ada alasan spesifik lain mengapa kami berebut, yaitu ingin mendapatkan yang lebih baik atau tidak ingin menjadi korban. Kebagian sepatu atau pet yang ngowoh atau dudul.

Dari rujukan empirik ini, saya berani menyimpulkan bahwa sikap sulit tertib dan ngantri tersebut didasari pada alasan yang sama persis meskipun oknumnya berbeda latar belakang, baik status sosial maupun pendidikannya. Apakah oknumnya itu pedagang asongan, supir angkot, PKL, tentara, polisi, politikus, anggota dewan, birokrat, pejabat atau apa saja mereka, alasannya sama persis. Saya yakin itu. Dan saya juga yakin bahwa sikap itu hanya berlaku di dalam negeri saja plus hanya berlaku antar sesama orang Indonesia saja.

Apakah anda tidak yakin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun