Mohon tunggu...
angelica salim
angelica salim Mohon Tunggu... -

biasa biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Chronicles Of Siddharta Gotama

20 September 2010   10:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Meninggalkan keduniawian

Setelah pangeran siddharta menyaksikan empat penampakan yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa suci. Malam hari itu, pangeran sidharta tidak bisa tenang lagi. Ia berjalan menyusuri ruang ruang istana dan akhirnya menghadap raja. Ia membungkuk dan berkata padanya, “ayah, perkenankan saya mengajukan permohonan. Izinkan saya meninggalkan istana untuk mengikuti jalan pembebasan, karena segala hal duniawi akan berubah dan bersifat sementara. Jadi kita harus berpisah, ayah”.

“anakku, lupakanlah niatmu. Engkau masih terlalu muda untuk suatu panggilan spiritual. Akulah yang justru harus melakukan hal itu. Waktuku telah tiba untuk meninggalkan istana. Aku turun tahta, O anakku”. “berjanjilah padaku empat hal, O ayah. Dan aku tidak akan meninggalkan rumahmu untuk pergi ke hutan”. Ucap pangeran siddharta. “apakah itu?” Tanya raja. “berjanjilah padaku bahwa hidupku tidak akan berakhir dengan kematian, bahwa penyakit tidak akan menyerang kesehatanku, bahwa usia tua tidak akan mengikuti masa mudaku, bahwa kemalangan tidak akan merusak kemakmuranku”. “aku tidak dapat menjanjikan hal hal itu, anakku. Karena hal hal itu tidak dapat di hindari”, Jawab raja. “maka janganlah menahanku, O ayah. Pikiranku telah bulat, semua hal duniawi itu hanyalah sementara.” Sahut pangeran siddharta. Jadilah sang pangeran meninggalkan keduniawian pada malam itu juga. Pada saat saat terakhirnya di istana, ia mendatangi kamar tidurnya dan memandangi istrinya yang terlelap dan anak mereka yang baru lahir. Keinginan untuk mencari kebenaran dengan meninggalkan cinta dan buah hatinya, tentunya sangat berat dan menyebabkan kepedihan yang dalam. Dua ribu lima ratus tahun kemudian setelah peristiwa meninggalkan keduniawian itu, ada yang mengecam tindakan tersebut. Mereka mengatakan bahwa ia kejam karena melarikan diri dari istana tanpa memberi tahu istrinya. Mereka mengutuk siddharta untuk tingkah lakunya meninggalkan rumah dan kerajaan. Beberapa orang menggambarkannya sebagai suatu tindakan yang tak berperasaan. Sebaliknya, apa yang akan terjadi jika ia tidak pergi diam-diam dan merayu istrinya dengan ucapan selamat tinggal yang formal? Mereka tentu saja akan memohonnya dengan sangat untuk mengubah pikirannya. Kejadiannya akan jadi lebih memilukan. Tekadnya mencari kebenaran akan digagalkan oleh ayah dan istrinya yang tidak setuju dengan rencananya. Karena kepergiannya pada hari itulah, hari ini, lima ratus juta manusia mengikuti-Nya. Ia meninggalkan keduniawian bukan untuk dirinya sendiri atau kenyamanannya. Tapi demi umat manusia yang menderita. Baginya seluruh umat manusia adalah satu keluarga. Di mata pangeran muda ini, seluruh dunia terbakar dengan nafsu, kemarahan, ketamakan dan banyak cemaran batin lainnya yang menyalakan api nafsu kita. Ia melihat setiap dan semua mahluk hidup di dunia ini, termasuk istri dan anaknya menderita segala jenis penyakit fisik dan mental. Ia sangat teguh dalam mencari suatu jalan untuk membasmi penderitaan di antara umat manusia, sehingga ia siap untuk mengorbankan segalanya. Seorang penyair melukiskan tindakan sang pangeran meninggalkan keduniawian: Bukanlah karena kebencian akan manisnya anak-anak; Bukanlah karena kebencian akan istrinya yang cantik; Bukanlah karena ia kurang mencintai mereka; Tetapi karena sifat ke-buddha-an, Ia tinggalkan mereka semua.

Kerinduan putri yasodhara

Setelah menjalani hidup berkeluarga selama tiga belas tahun bersama pangeran siddharta, pada usia dua puluh Sembilan tahun, putri yasoddhara melahirkan putra tunggalnya, bernama rahula. Pada hari itu pula suaminya yang tercinta, pangeran siddharta, meninggalkan keduniawian, serta meninggalkan dirinya dan bayi yang baru lahir itu untuk mencari jalan pembebasan bagi semua mahluk. Tujuh tahun kemudian, ia kembali sebagai sesosok Buddha yang agung dan mulia. Seusai yang terberkahi dan para siswanya makan, seluruh keluarga dan anggota istana datang dan memberi hormat padanya, kecuali putri yasodhara. Sang putrid tetap tinggal di biliknya kendatipun para dayang membujuknya untuk menemui yang terberkahi. Putri yasodhara berpikir, “jika aku memang pernah memberikan layanan khusus yang layak di syukuri, yang terberkahi akan datang menjumpaiku secara pribadi. Setelah itu barulah aku akan memberikan sembah hormat padanya”. Yang terberkahi menyadari bahwa putri yasodhara tidak berada di antara anggota kerajaan, segera ia bertanya kepada raja, “ayahanda, saya tidak melihat yasodhara. Dimanakah ia berada?”. “bhante, ia berada dalam biliknya”, Jawab raja. Lalu yang terberkahi menitipkan mangkuk dananya pada raja. Disertai kedua siswa utamanya, ia pergi menuju bilik tersebut. Sesampainya disana, yang terberkahi berkata, “jangan sampai seorang pun yang berusaha menghalangi putri yasodhara selagi ia memberikan sembah hormat pada saya. Biarlah ia melakukan apa saja sesuai keinginannya”. Lalu yang terberkahi duduk di tempat yang telah di sediakan baginya. Mendengar bahwa yang terberkahi telah tiba, putri yasodhara memerintahkan para dayangnya untuk berbusana kuning. Kemudian, ia bergegas datang menjumpai yang terberkahi dan menyungkurkan badan di kakinya sambil menggenggam erat pergelangan kaki yang terberkahi dan ia menempatkan dahinya di kaki yang terberkahi, lalu menangis. Yang terberkahi duduk dengan tenang, dan tak seorang pun menahan sang putri, sampai akhirnya rasa rindunya terobati. Setelah itu ia membersihkan kaki yang terberkahi dan duduk dengan hormat. Raja suddhodana lalu menceritakan pada yang terberkahi mengenai kebajikan putri yasodhara. “yang terberkahi, putriku mengenakan pakaian kuning sejak ia mendengarkan bahwa engkau mengenakan jubah kuning. Tatkala mendengar bahwa engkau hanya makan sekali sehari, ia juga makan sekali sehari. Ketika mendengar bahwa engkau tidak lagi memakai tempat tidur yang tinggi dan mewah, ia tidur di tempat tidur yang rendah. Saat mendengar bahwa engkau tidak lagi menggunakan bunga dan wewangian, ia berhenti meminyaki dirinya dengan ramuan wangi dan berhenti mengenakan bunga. Bhante, tatkala engkau meninggalkan keduniawian, para pangeran kerabatnya mengirimkan ucapan untuk menyayangi, memuja dan berusaha merebutnya namun semuanya itu tak sedikit pun ia lirik. Demikianlah putriku terkaruniai kebajikan seperti itu”. Yang terberkahi menjawab, “ayahanda, tidaklah heran jika yasodhara sekarang tetap mempertahankan kesetiaan dan martabatnya, karena dalam kehidupan yang lampau pun ia juga melindungi dirinya sendiri dan setia serta taat pada saya kendatipun masih belum matang dalam kebijaksanaan dan tiada yang melindunginya”. Kemudian yang terberkahi membabarkan candakinnara jataka untuk menunjukkan bagaimana pada masa lampau kesetiaannya juga sangat tinggi. Pada kemudian hari, ketika yang terberkahi mengizinkan kaum wanita untuk memasuki persamuhan, putri yasodhara menjadi bikkhuni di bawah bimbingan bikkhuni mahapajapati gotami. Ia berjuang keras dalam latihannya dan akhirnya mencapai tataran arahatta.   

Rahula, Putra Pangeran Siddharta Pangeran Rahula belia baru berusia tujuh tahun ketika sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu. ia di asuh ibunya Yasodhara dan kakeknya Raja Suddhodana. dalam kurun waktu itu, ia tak pernah menjumpai ayahnya yaitu pangeran siddharta, yang meninggalkan keduniawian pada hari ia lahir. pada hari ketujuh di kapilavatthu, yang terberkahi dan para siswa-nya kembali makan di istana raja. saat itu, putri yasodhara memakaikan pakaian yang anggun pada pangeran muda itu, yang lalu disuruhnya untuk menjumpai yang terberkahi. sang ibu berkata, "putraku tercinta, lihatlah bikkhu yang anggun, yang memiliki penampilan laksana brahma, serta yang diiringi oleh dua puluh ribbu orang bikkhu itu! ia adalah ayahmu. kekayaan-nya sangat banyak, namun semuanya telah lenyap seiring dengan pelepasan keduniawian-nya". "pergilah pada ayahmu dan mintalah warisanmu dengan berkata, 'ayahanda, saya adalah pangeran muda yang kelak akan dinbatkan sebagai raja. saya membutuhkan kekayaan dan harta yang sesuai bagi raja seperti itu. saya harap kekayaan tersebut diberikan kepada saya sebagai warisan karena seorang putra senantiasa menjadi pewaris dari kekayaan ayahnya seperti itu'", lanjut sang ibu. Dengan segera pangeran rahula mendekati sang buddha dan merasakan kasih sayang dari ayahnya. hatinya meluap dengan kebahagiaan. ia berkata sesuai dengan yang diminta ibunya. ia lalu menambahkan kata-katanya sendiri, "O ayahanda bikkhu, bayang-bayang ayahanda pun terasa menyenangkan bagi saya". seusai makan, yang terberkahi membabarkan manfaat dari pemberian dana makanan, lalu meninggalkan istana untuk menuju ke wihara nigridha bersama dengan dua puluh ribu siswa arahanta-nya. pangeran rahula mengikuti-nya dari belakang sambil berkata, "berikanlah warisan saya, O bikkhu!". ia mengulangi kata-kata tersebut sepanjang jalan sampai mereka tiba di wihara. walaupun demikian, tak seorangpun termasuk sang buddha mencegahnya. setibanya di wihara tersebut, sang buddha berpikir: ("pangeran rahula ingin mewarisi kekayaan ayahnya, namun kekayaan dan harta duniawi ini hanya akan menyebabkan penderitaan tanpa akhir baginya dalam putaran tumimbal lahir, lebih baik aku berikan kepadanya ketujuh harta mulia, yakni: - keyakinan (saddha) - moralitas (sila) - rasa malu berbuat salah (hiri) - rasa takut akan berbuat salah (ottapa) - pengetahuan (suta) - kedermawanan (caga) - dan kebijaksanaan (panna) yang semuanya telah kutemukan saat berjuang mencapai pencerahan. akan kujadikan dirinya pemilik harta warisan yang luhur ini"). lalu yang terberkahi meminta bikkhu sariputta untuk memberikan penahbisan awal bagi pangeran rahula sebagai bakal bikkhu (samanera). demikianlah, pangeran rahula menjadi samanera pertama dalam Buddha sasana. mendengar bahwa cucunya, pangeran rahula telah diberikan penahbisan awal sebagai samanera, raja suddhodana menjadi sangat tertekan dan mengalami derita batin dan fisik yang hebat. ia lalu menjumpai yang terberkahi. setelah memberi hormat pada-nya, ia duduk ditempat yang sesuai dan berkata, "bhante, bolehkah aku mengajukan satu permohonan kepada yang terberkahi?". "O ayahanda, aku telah meninggalkan pengabulan permohonan", jawab yang terberkahi. raja berkata, "aku hanya akan mengajukan satu permohonan yang pantas dan tak tercela". "jika demikian, katakanlah O raja agung", jawab yang terberkahi. raja suddhodana menjelaskan dan memohon serperti ini, "bhante, aku sungguh menderita tatkala pertama kali engkau meninggalkan keduniawian. kemudian putraku nanda menerima penahbisan lanjut sebagai bikkhu, dan yang terakhir cucuku rahula di berikan penahbisan awal sebagai samanera. deritaku sekarang tak terukur lagi". "bhante, cinta kami pada anak menembus sampai ke kulit ari. cinta ini menusuk kulit, daging, urat daging, tulang dan bahkan menembus sumsum. bhante, akan baik kiranya jika bhante tidak memberikan penahbisan awal kepada anak-anak tanpa persetujuan orangtua mereka", lanjut sang raja. yang terberkahi lalu membimbing, mendorong membangkitkan semangat dan membesarkan hati sang raja dengan pembabaran dhamma. setelah itu raja suddhodana bangkit dari duduknya. setelah memberi sembah hormat pada yang terberkahi, ia pergi seraya menjaga supaya yang terberkahi tetap berada disisi kanannya. sehubungan dengan permohonan raja suddhodana, yang terberkahi menerima alasan tersebut dan mencanangkan peraturan pada persamuhan bikkhu, "para bikkhu, janganlah memberikan penahbisan awal pada anak anak tanpa persetujuan orangtua mereka". yang terberkahi senantiasa mengajarkan banyak sutta pada rahula untuk membimbingnya, sementara samanera itu sendiri sangat berkeinginan menerima bimbingan dari-nya dan para guru-nya. ia selalu bangun pagi pagi dan mengambil segenggam pasir sambil berkata, "semoga hari ini aku menerima wejangan dari para guruku sebanyak butiran pasir ini".

sabbe satta bhavantu sukhitata semoga semua mahluk berbahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun