Meninggalkan keduniawian
Setelah pangeran siddharta menyaksikan empat penampakan yaitu: orang tua, orang sakit, orang mati dan petapa suci. Malam hari itu, pangeran sidharta tidak bisa tenang lagi. Ia berjalan menyusuri ruang ruang istana dan akhirnya menghadap raja. Ia membungkuk dan berkata padanya, “ayah, perkenankan saya mengajukan permohonan. Izinkan saya meninggalkan istana untuk mengikuti jalan pembebasan, karena segala hal duniawi akan berubah dan bersifat sementara. Jadi kita harus berpisah, ayah”.
“anakku, lupakanlah niatmu. Engkau masih terlalu muda untuk suatu panggilan spiritual. Akulah yang justru harus melakukan hal itu. Waktuku telah tiba untuk meninggalkan istana. Aku turun tahta, O anakku”. “berjanjilah padaku empat hal, O ayah. Dan aku tidak akan meninggalkan rumahmu untuk pergi ke hutan”. Ucap pangeran siddharta. “apakah itu?” Tanya raja. “berjanjilah padaku bahwa hidupku tidak akan berakhir dengan kematian, bahwa penyakit tidak akan menyerang kesehatanku, bahwa usia tua tidak akan mengikuti masa mudaku, bahwa kemalangan tidak akan merusak kemakmuranku”. “aku tidak dapat menjanjikan hal hal itu, anakku. Karena hal hal itu tidak dapat di hindari”, Jawab raja. “maka janganlah menahanku, O ayah. Pikiranku telah bulat, semua hal duniawi itu hanyalah sementara.” Sahut pangeran siddharta. Jadilah sang pangeran meninggalkan keduniawian pada malam itu juga. Pada saat saat terakhirnya di istana, ia mendatangi kamar tidurnya dan memandangi istrinya yang terlelap dan anak mereka yang baru lahir. Keinginan untuk mencari kebenaran dengan meninggalkan cinta dan buah hatinya, tentunya sangat berat dan menyebabkan kepedihan yang dalam. Dua ribu lima ratus tahun kemudian setelah peristiwa meninggalkan keduniawian itu, ada yang mengecam tindakan tersebut. Mereka mengatakan bahwa ia kejam karena melarikan diri dari istana tanpa memberi tahu istrinya. Mereka mengutuk siddharta untuk tingkah lakunya meninggalkan rumah dan kerajaan. Beberapa orang menggambarkannya sebagai suatu tindakan yang tak berperasaan. Sebaliknya, apa yang akan terjadi jika ia tidak pergi diam-diam dan merayu istrinya dengan ucapan selamat tinggal yang formal? Mereka tentu saja akan memohonnya dengan sangat untuk mengubah pikirannya. Kejadiannya akan jadi lebih memilukan. Tekadnya mencari kebenaran akan digagalkan oleh ayah dan istrinya yang tidak setuju dengan rencananya. Karena kepergiannya pada hari itulah, hari ini, lima ratus juta manusia mengikuti-Nya. Ia meninggalkan keduniawian bukan untuk dirinya sendiri atau kenyamanannya. Tapi demi umat manusia yang menderita. Baginya seluruh umat manusia adalah satu keluarga. Di mata pangeran muda ini, seluruh dunia terbakar dengan nafsu, kemarahan, ketamakan dan banyak cemaran batin lainnya yang menyalakan api nafsu kita. Ia melihat setiap dan semua mahluk hidup di dunia ini, termasuk istri dan anaknya menderita segala jenis penyakit fisik dan mental. Ia sangat teguh dalam mencari suatu jalan untuk membasmi penderitaan di antara umat manusia, sehingga ia siap untuk mengorbankan segalanya. Seorang penyair melukiskan tindakan sang pangeran meninggalkan keduniawian: Bukanlah karena kebencian akan manisnya anak-anak; Bukanlah karena kebencian akan istrinya yang cantik; Bukanlah karena ia kurang mencintai mereka; Tetapi karena sifat ke-buddha-an, Ia tinggalkan mereka semua.
Kerinduan putri yasodhara
Setelah menjalani hidup berkeluarga selama tiga belas tahun bersama pangeran siddharta, pada usia dua puluh Sembilan tahun, putri yasoddhara melahirkan putra tunggalnya, bernama rahula. Pada hari itu pula suaminya yang tercinta, pangeran siddharta, meninggalkan keduniawian, serta meninggalkan dirinya dan bayi yang baru lahir itu untuk mencari jalan pembebasan bagi semua mahluk. Tujuh tahun kemudian, ia kembali sebagai sesosok Buddha yang agung dan mulia. Seusai yang terberkahi dan para siswanya makan, seluruh keluarga dan anggota istana datang dan memberi hormat padanya, kecuali putri yasodhara. Sang putrid tetap tinggal di biliknya kendatipun para dayang membujuknya untuk menemui yang terberkahi. Putri yasodhara berpikir, “jika aku memang pernah memberikan layanan khusus yang layak di syukuri, yang terberkahi akan datang menjumpaiku secara pribadi. Setelah itu barulah aku akan memberikan sembah hormat padanya”. Yang terberkahi menyadari bahwa putri yasodhara tidak berada di antara anggota kerajaan, segera ia bertanya kepada raja, “ayahanda, saya tidak melihat yasodhara. Dimanakah ia berada?”. “bhante, ia berada dalam biliknya”, Jawab raja. Lalu yang terberkahi menitipkan mangkuk dananya pada raja. Disertai kedua siswa utamanya, ia pergi menuju bilik tersebut. Sesampainya disana, yang terberkahi berkata, “jangan sampai seorang pun yang berusaha menghalangi putri yasodhara selagi ia memberikan sembah hormat pada saya. Biarlah ia melakukan apa saja sesuai keinginannya”. Lalu yang terberkahi duduk di tempat yang telah di sediakan baginya. Mendengar bahwa yang terberkahi telah tiba, putri yasodhara memerintahkan para dayangnya untuk berbusana kuning. Kemudian, ia bergegas datang menjumpai yang terberkahi dan menyungkurkan badan di kakinya sambil menggenggam erat pergelangan kaki yang terberkahi dan ia menempatkan dahinya di kaki yang terberkahi, lalu menangis. Yang terberkahi duduk dengan tenang, dan tak seorang pun menahan sang putri, sampai akhirnya rasa rindunya terobati. Setelah itu ia membersihkan kaki yang terberkahi dan duduk dengan hormat. Raja suddhodana lalu menceritakan pada yang terberkahi mengenai kebajikan putri yasodhara. “yang terberkahi, putriku mengenakan pakaian kuning sejak ia mendengarkan bahwa engkau mengenakan jubah kuning. Tatkala mendengar bahwa engkau hanya makan sekali sehari, ia juga makan sekali sehari. Ketika mendengar bahwa engkau tidak lagi memakai tempat tidur yang tinggi dan mewah, ia tidur di tempat tidur yang rendah. Saat mendengar bahwa engkau tidak lagi menggunakan bunga dan wewangian, ia berhenti meminyaki dirinya dengan ramuan wangi dan berhenti mengenakan bunga. Bhante, tatkala engkau meninggalkan keduniawian, para pangeran kerabatnya mengirimkan ucapan untuk menyayangi, memuja dan berusaha merebutnya namun semuanya itu tak sedikit pun ia lirik. Demikianlah putriku terkaruniai kebajikan seperti itu”. Yang terberkahi menjawab, “ayahanda, tidaklah heran jika yasodhara sekarang tetap mempertahankan kesetiaan dan martabatnya, karena dalam kehidupan yang lampau pun ia juga melindungi dirinya sendiri dan setia serta taat pada saya kendatipun masih belum matang dalam kebijaksanaan dan tiada yang melindunginya”. Kemudian yang terberkahi membabarkan candakinnara jataka untuk menunjukkan bagaimana pada masa lampau kesetiaannya juga sangat tinggi. Pada kemudian hari, ketika yang terberkahi mengizinkan kaum wanita untuk memasuki persamuhan, putri yasodhara menjadi bikkhuni di bawah bimbingan bikkhuni mahapajapati gotami. Ia berjuang keras dalam latihannya dan akhirnya mencapai tataran arahatta.
sabbe satta bhavantu sukhitata semoga semua mahluk berbahagia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H