Editor adalah saudara dekat para sherpa. Mungkin, banyak kawan-kawan yang lalu mengernyitkan dahi saat membaca statemen tersebut. Atau, bahkan mungkin ada yang langsung menolak mentah-mentah ucapan semacam itu, tanpa merasa perlu membuka front dialog atau klarifikasi atas hal tersebut.
Namun, dengan posisi, tanggung jawab kerja, serta jubelan tugasnya, susah bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa editor adalah saudara dekat para sherpa nun jauh di Himalaya sana. Sebab, dalam banyak hal, secara esensi, editor dan sherpa kerap berada dalam posisi yang sama saat menjalankan tugas keprofesiannya.
Untuk membuktikan statemen saya tersebut, mari kita ajukan sebuah pertanyaan: siapakah pendaki pertama yang berhasil memuncaki Himalaya?
Tentu, jawaban semua orang—di berbagai belahan dunia—atas pertanyaan tersebut hanya satu: Sir Edmund Hillary.
Pun, kala diminta menyebutkan siapa saja para pendaki kelas dunia yang pernah menjejakkan kakinya di puncak-puncak tertinggi yang ada di permukaan planet bumi ini, semacam puncak Everest, Dapsang, Kanchenjunga, atau Nanga Parbat, secara otomatis, dalam benak kita akan muncul nama-nama seperti Peter Habeler, Reinhold Messner, atau Doug Scott yang telah mengkhatamkan seven summit dunia.
Pertanyaannya, di manakah terselipnya nama seperti Tenzing Norgay? Sherpa yang bertugas memandu dan menyiapkan serta membawa segala keperluan pendakian Sir Edmund Hillary, sang pemuncak Everest pertama yang namanya begitu mendunia. Di mana pula Ang Rita? Sherpa yang sepuluh kali memandu para pendaki—yang nama mereka di kemudian dikenal sebagai para penakluk keterjalan Himalaya—memuncaki Everest tanpa tabung oksigen?
Ironis, memang.
Nama para sherpa tak pernah muncul ke permukaan. Laiknya nama para editor yang tak kunjung dapat bersanding dengan para penulis nomer wahid di negeri ini atau bahkan penulis kaliber dunia. Nama-nama mereka tenggelam di dalam tumpukan buku-buku editannya yang kemudian diagung-agungkan sebagai buku best seller atau paling populer.
Pekerjaan berat mereka menekuni huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga mengantarkan naskah dan nama penulisnya ke puncak popularitas dan pencapaian kepuasan—batin dan finansial—laiknya pekerjaan saudara mereka yang para sherpa itu. Semua dilakukan di balik layar. Tanpa publikasi, tanpa tepuk tangan, tanpa penghargaan, bahkan—mungkin—walau hanya sekadar ucapan terima kasih.
Dan, uniknya, laiknya para saudara mereka yang sherpa itu, para editor tak pernah sekalipun mengajukan diri atau menepuk dada bahwa merekalah yang telah membidani lahirnya karya-karya puncak para penulis terkenal itu. Tak sekalipun mereka pasang pengumuman bahwa merekalah yang merias “itik buruk rupa” itu hingga menjadi layak disodorkan ke meja para pembaca.
Mereka cukup puas dengan hanya menyaksikan semua kegemilangan naskah editannya serta keterpampangan nama penulisnya di berbagai media, dari baliho di tepi jalan hingga layar televisi. Mereka merasa cukup dengan hanya gaji bulanan yang diterimanya. Laiknya para saudara mereka yang sherpa itu. Padahal, dari segi tanggung jawab, sherpa dan editor jelas dibebani tugas berat. Selain harus terus meng-up grade kemampuan di bidangnya, mereka juga harus siap menambal atau bahkan menutupi kekurangan si penulis dalam hal olah teks, atau mungkin sesekali dijadikan bemper alasan—dengan alibi (mungkin) kesalahan editing—jika naskah tersebut cacat isi. Belum lagi setumpuk tanggung jawab dan tugas lainnya yang akan terlalu panjang jika harus dibeber di sini.
So, hingga batas ini, masihkah kawan-kawan menyangsikan bahwa para editor adalah saudara jauh para sherpa di Himalaya sana?
#Yuk, kapan naik gunung lagi?
Salam,
A. S. Sudjatna
KS. 298 Wv.
Kapalasastra
Cinta alam,
Cinta kehidupan,
Tanpa melupakan kebesaran Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H