Sabtu pagi ini seperti biasa, setelah sejenak menonton update berita pagi televisi (lebih banyak mengenai sepak bola tentu saja) saya cuci muka sekedar untuk menyegarkan wajah. Merapikan kaos yang saya pakai, kemudian keluar dari kamar saya yang sempit. Hari libur memang memberi keleluasaan bagi saya untuk dapat menikmati sarapan pagi dengan tenang, kali ini nasi uduk didepan kos rasanya cukup menggoda. Setelah membeli Koran Kompas dan menyantap nasi hangat, gurih dan nikmat itu saya kembali ke dunia kecil saya.
Ultimate-U, menjadi sasaran pertama otak saya. Sudah beberapa bulan ini saya suka membaca tulisan Rene meski hanya di seminggu sekali. Bagian faforit saya tetap olahraga, tentang bagaimana periapan Australia dan Jepang jelang Final Piala Asia di Qatar. Setelah itu baru saya bernjak ke halaman utama mengenaiKebakaran Kapal yang merenggut 13 penumpang dan penahanan para politisi terkait kasus suap. Mata saya mulai letih ketika sampai pada halaman opini. Dari beberapa judul yang ada, mata saya otomatis langsung memihak pada tulisan yang kira-kira mampu saya cerna. Judul yang mudah saya mengerti adalah “Istana DPR dan Rumah Rakyat” yang ternyata dari Jaya Suprana, yang juga satu-satunya penulis opini di kompas hari ini yang saya tahu (melalui televisi). Saya kira semua orang mengenal beliau.
Sesuai judulnya, tulisan ini membahas “mati rasa”-nya wakil-wakil kita di DPR hingga tega mencoba menguras uang negara untuk membangun “Istana” di Senayan senilai 1,3 Triliun!!!Tentu bukan angka kecil setidaknya bagi saya. Pak Jaya Suprana mulai membandingkan dengan aksi kemanusiaan Romo Sandi yang membangun rumah untuk untuk korban tsunami di Aceh dan saat ini sedang membangun rumah-rumah untuk kaum miskin di bantaran Sungai Ciliwung. Benar-benar menyentuh perasaan.
Namun mulai ada yang janggal saat Pak Jaya menyinggung tipe rumah bagi warga miskin yang dibangun di Ciliwung yaitu rumah 2 lantai dengan luas 9 x 9 m2 (162 m2). Ini jauh lebih luas dari kamar kos saya yang tidak sampai 3 x 3 m2 . Yang lebih mencengangkan lagi biaya pembangunannya maksimal hanya 15 juta rupiah!!
Apa tidak salah perhitungan ini? Setahu saya untuk rumah sesederhana apapun dengan ukuran luas 162 m2 tentu 15 juta agak tidak masuk akal. Konsentrasi mengenai Gedung baru DPR mulai hilang. Kemudian tulisan berlanjut dengan keisengan Pak Jaya dengan kalkulator Za-Dul-nya untuk berusaha mengandaikan bila dana 1,3 triliun dipakai untuk membangun rumahtipe 3A seperti yang dibangun Romo Sandi, berapa kira-kira rumah rakyat yang bisa dibangun?
Berhubung kalkulatornya Za-Dul yang hanya muat 8 digit angka, maka Pak Jaya menghilangkan 6 angka 0 pada 1,3 triliun menjadi 1.300.000 dan pembaginya 15 juta menjadi 15. Setelah dibagi maka angka yang keluar adalah 86.666,66 rumah. Banyak juga rakyat yang bisa mendapat rumah kalau begini. Namun entah mengapa Pak Jaya kembali mengalikan angka ini dengan bilangan 1 juta lagi. Seolah berusaha mengganti angka 0 yang tadi dihilangkan. Sehingga angkanya menjadi 86.666.666.666 (pembulatan).Dan tulisan selanjutnya menggambarkan terkesimanya Pak Jaya dengan kesalahan yang tidak disadarinya. Luar biasa sekali bila gedung DPR dibatalkan pembangunannya dan dibangun 86.666.666.666 (86 milyar) rumah untuk rakyat miskin. Padahal dalam pembagian yang angka dibagi dan pembaginya sama-sama dihilangkan digit 0-nya, maka artinya sama-sama hilang, bukan dihilangkan sementara seperti pada perkalian. Artinya angka yang benar adalah 86.666 rumah.
Penduduk Indonesia saja baru 230 jutaan . Kalau 86 milyar rumah dibangun, siapa yang akan menempatinya?
Lanjutan tulisan Pak Jaya berusaha mengetuk hati anggota DPR dengan angka yang masih salah itu, mencoba memberi tahu banyak sekalirumah yang bisa dibangun bila mereka mau membatalkan rencana pembangunan gedung DPR dan mengalihkannya untuk dana pembangunan rumah rakyat miskin.
Saya jadi teringat kesalahan perhiungan yang saya buat hari jumat kemarin di tempat kerja. Bagaimana estimasi biaya transport yang saya buat hampir separuh harga barang yang akan dibeli. Atasan saya langsung menegur dengan tertawa mengejek betapa cerobohnya saya, dan betapa fatalnya kesalahan itu akan merugikan perusahaan bila sampai lolos.
Akhirnya saya bisa mengerti alasan Bos menyalahkan saya kemarin setelah membaca kompas hari ini. Terimakasih Pak Jaya, Tulisan Anda sangat tulus untuk menyuarakan ide kemanusiaan. Tapi, saya sangat menyayangkan kesalahan perhitungan sepele ini bisa luput dari pengamatan Anda. Kalau adik sepupu saya membaca tulisan ini tentu saja Ia akan berujar “Ternyata Jaya Suprana tidak lebih pintar dari anak kelas 5 SD”
Kalau kita mau perhatikan lagi, memang sekarang ini banyak sekali kritikan dan saran yang terlalu didramatisir, menggunakan data-data yang kurang bisa dipertanggung jawabkan dan kadang hanya ditujukan untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu.
Apakah tulisan yang saya buat ini salah satunya? Bagaimana menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H