Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bencana Erupsi: Antara Tanggap Darurat dan Diskriminasi

16 Februari 2014   19:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana Erupsi: Antara Tanggap Darurat dan

Diskriminasi

[caption id="attachment_322932" align="alignright" width="597" caption="Presiden SBY saat kunjungi pengungsi bencana erupsi Gunung Sinabung, Kamis (23/1) lalu. Sumber: whatindonews.com"][/caption] Cepat tanggapnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespon bencana erupsi Gunung Kelud patut diacungi jempol. Setidaknya, Minggu (16/2) pagi, Presiden SBY didampingi istrinya dan rombongan bertolak menuju Madiun dengan menggunakan kereta api. Sebagai orang nomor satu di Indonesia, tindakan Presiden SBY dalam merespon bencana erupsi gunung yang dampaknya terasa di hampir seluruh daerah di Pulau Jawa itu patut diapresiasi. Dalam akun twitternya, Presiden SBY menuturkan bahwa cepatnya respon itu lantaran  mengingat besarnya pengungsi dan sebaran abu vulkanik. Dengan alasan itulah, beliau merasa perlu untuk segera menggelar rapat tanggap darurat. Setidaknya itu kemudian segera dibuktikannya dengan bertolak dari ibukota menuju lokasi bencana. Rencananya, Presiden SBY akan berada di sana selama 3 hari (16-18/2). Tapi, yang perlu digarisbawahi di sini adalah justru bertolak belakangnya respon Presiden SBY terhadap terjadinya bencana gunung meletus. Bukan bermaksud skeptis, setidaknya laik kita bandingkan respon beliau dengan bencana gunung meletus lainnya. Sebut saja misalnya Gunung Sinabung. Saat terjadinya letusan gunung aktif di tanah Karo itu, Presiden SBY harus menunggu hingga lebih dari 120 hari untuk segera meresponnya. Dalam hal ini saya tak bicara soal penetapan status bencana nasional. Selain lantaran saya sadar betul regulasi dalam hal ini adalah UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 7 (2) memang menjadi dasar untuk tak bisa ditetapkannya bencana yang menelan 17 korban jiwa itu, persoalan paling konkret bagi para korban adalah dukungan moral. Terlebih jika dukungan moral itu datang dari orang nomor saru di negaranya. Belum lagi jika hal ini harus dibandingkan bencana erupsi gunung di lokasi lainnya. Sebut saja misalnya Gunung Rokatenda (NTT), Gunung Lokon (Sulawesi Utara), dan Gunung Gamalama (Maluku). Setidaknya, jika berkaca dari keterangan Mbah Rono (Surono, Kepala Pusat Badan Geologi Kementrian ESDM), bahwa setidaknya kini ada 28 daerah di Indonesia yang terancam letusan gunung api. Parahnya, beberapa di antaranya terletak di luar Jawa. Sebagai catatan, ada 12 gunung api yang berstatus siaga dan 5 gunung berstatus siaga. Dari sinilah, patut kita renungkan bersama, reaksi presiden terkait bencana erupsi gunung api, terutama yang terletak di luar Jawa, seharusnya menjadi agenda yang tak bisa dikesampingkan. Pasalnya, jika hal ini kembali terjadi, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya pun sedikit banyak akan terkaburkan oleh prasangka terhadap presiden. Maka tak heran pula jika masyarakat kemudian banyak yang menganggap adanya diskriminasi reaksi presiden terhadap bencana di luar Jawa. Jadi, menurut saja, setidaknya, sebagai presiden, seharusnya beliau menyadari bahwa beliau adalah presiden bagi Indonesia, bukan hanya presiden bagi Pulau Jawa. Tentunya, Indonesia sejatinya harus dimaknai sebagai nusantara. Secara etimologi, nusantara sendiri berasal dari dua kata, nusa dan antara. 'Nusa' dalam bahasa Sanskerta berarti pulau atau kepulauan. Sedangkan dalam bahasa Latin,  kata 'nusa' berasal dari dari kata nesos yang menurut Martin Bernal bahwa kata itu bisa memiliki dua arti, yaitu kepulauan dan bangsa. Sedangkan 'antara' memiliki padanan dalam bahasa Latin, in dan terra yang berarti antara atau dalam suatu kelompok, antara juga mempunyai makna yang sama dengan kata inter dalam bahasa Inggris yang berarti antar (antara dan relasi). Sedangkan dalam bahasa Sanskerta, kata 'antara' dapat diartikan sebagai laut, seberang, atau luar. Kesimpulannya, secara etimologi, nusantara dapat diartikan sebagai kepulauan yang dipisahkan oleh laut atau bangsa-bangsa yang dipisahkan oleh laut.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun