Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi Antara Kerangka Moralitas dan Tradisi (2)

11 Februari 2014   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:57 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi Antara Kerangka Moralitas dan Tradisi (2)


[caption id="attachment_321875" align="alignleft" width="108" caption="sumber: vanzimi.wordpress.com"][/caption]

Aroma Seksualitas dalam Moralitas Berbahasa (tutur)

Dari aspek historisnya, dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap 'jancuk' sendiri. Pertama, 'jancuk' merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok. Kedua, munculnya aroma seksualitas yang kental dalam 'jancuk'.

Persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan sebagai hakikat 'jancuk' yang terjadi di masyarakat. 'Jancuk' di masyarakat Surabaya memang dikenal sebagai ungkapan yang yang sangat kental unsur seksualitasnya. Seperti yang sudah disebutkan, bahwa 'jancuk' merupakan akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan di sini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut etimologi, dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh.

Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, dalam sebuah wawancaranya, beliau mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikawinkan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. Sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik masyarakat Surabaya, yang memang pada saat itu, sekitar tahun 1930an - 1940an, dikenal memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.

'Jancuk' digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka. Masyarakat Surabaya menggunakan 'jancuk' ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai 'jancuk' ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan, bahwa pada hakikatnya 'jancuk' hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri. Pada dasarnya 'jancuk' merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, 'jancuk' merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun di sisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter.

Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215). Dari pengertian tersebut, bisa digambarkan bahwa 'jancuk' sebagai ciri khas aksen Surabaya, menggambarkan masyarakat Surabaya yang apa adanya, spontanitas, atau bisa dikatakan ceplas-ceplos.

'Jancuk' dan Maskulinitas

Seperti yang telah disebutkan, bahwa 'jancuk' sangat berkaitan dengan aspek seksual, maka pada penggunannya pun sangat ‘patriarkal’, artinya dalam batas kelayakan, pengguna 'jancuk' ini adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan harfiah dari 'jancuk' adalah mengarah ke makna ‘kelamin kuda jantan’, yang dalam hal ini diibaratkan sebagai manusia laki-laki.

Pengguna 'jancuk' lebih banyak laki-laki, juga disebabkan karena budaya maskulinitas yang dianut oleh masyarakat timur, khususnya masyarakat Surabaya. Dalam proses interaksi sosial, maskulinitas berpengaruh pada pembedaan posisi laki-laki dan perempuan dalam memandang aspek yang ditabukan salah satunya adalah seksualitas dan sensualitas. Perempuan dianggap sebagai ‘makhluk suci’, sehingga tidak diperbolehkan bersentuhan dengan segala sesuatu yang ‘ditabukan’ (Frehmer, 1995:98).

Dalam kenyataannya, sekitar tahun 1952, kendati jancuk sangat akrab pada setiap percakapan masyarakat Surabaya, namun perspektif yang terbentuk di masyarakat adalah sesuatu yang tabu atau dalam istilah Jawa disebut dengan gak ilo’—tidak pantas—jika yang mengucapkan jancuk itu adalah seorang perempuan. Jancuk pada dasarnya dipakai sebagai kata sapaan, sebagai tanda keakraban. Artinya, kata ini lazimnya hanya dipakai dalam percakapan dua orang atau lebih yang usianya sebaya, atau diucapkan oleh seseoarang yang usianya lebih tua, atau dianggap tua.

Dari sini, maka bisa dipastikan, bahwa jancuk praktisnya merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan oleh pemuda-pemuda Surabaya. Kembali, bahwa sebenarnya masyarakat asli Surabaya, tidak mengkotak-kotakkan, apalagi memperdebatkan perkara ini, sebab menurut mereka tidak penting dari mana 'jancuk' itu berasal. Bagi mereka, selama 'jancuk' itu digunakan sebagai kata sapaan yang memenuhi persyaratan sebagai bahasa, dimana dapat ‘diterima’ oleh kedua pihak (Suparno, dkk , 1999:27).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meski pada hakikatnya 'jancuk' tidak berkonotasi negatif, namun pada kenyataannya jancuk ada yang menafsirkan negatif. Hal ini sejatinya tidak dimunculkan oleh kelompok asli masyarakat Surabaya, melainkan dari para urban, para pendatang dari wilayah lain yang baik secara langsung, maupun tidak langsung, fisik maupun sosial, telah terpengaruh oleh masyarkat Surabaya, baik itu melalui proses asimilasi, maupun akulturasi.

Jika berbicara dengan penafsiran, positif atau negatif, adalah berkaitan erat dengan cara atau teknis pemakaiannya, atau lebih tepatnya jika dikaitkan dengan konteks perilaku pemakainya. 'Jancuk' dapat ditafsirkan sebagai kosakata yang berkonotasi negatif, jika diucapkan dengan nada tinggi dengan diikuti mimik wajah yang menunjukkan penggunanya sedang dalam keadaan marah. Menurut Srihono yang merupakan pengasuh acara berbahasa Jawa di Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, hal ini biasanya 'jancuk' dimaksudkan sebagai alat untuk memojokkan atau merendahkan serta memancing supaya lawan bicara dapat membalas kemarahannya.(dalam wawancara tanggal 14 Juni 2007).

Jadi, pada dasarnya, asumsi masyarakat terhadap 'jancuk' sebagai pisuhan di Surabaya, berdasar pada konteks yang ada, perilaku penggunanya dan intonasi pengucapannya. Pada tahun 1980an hingga 1990an, jancuk dianggap sebagai kata yang ‘sakral’, bukan tabu, sebab pada masa ini, masyarakat Surabaya (merasa) tidak perlu untuk memperdebatkan tentang makna, hakikat dan asal usul kata ini. Tapi, yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka terlalu ‘segan’ untuk menggunakan kata ini dalam proses interaksi sosial mereka, hal ini disebabkan, jika ada salah satu dari kelompok masyarakat Surabaya yang menggunakan jancuk ini, diklaim sebagai orang yang kasar, dalam arti diasumsikan sebagai orang yang tidak berbudaya, tidak beradab, hingga pada akhirnya, kemungkinan terburuk adalah mereka dapat teralienasi dari kelompok mereka sendiri.

Masyarakat pada masa-masa ini sepertinya lebih nyaman hidup dalam segala sesuatu yang halus dan tertata, mulai dari materi, hingga ucapan. Hal tersebut yang menyebabkan begitu sakralnya 'jancuk' di kalangan masyarakat sendiri. Masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kata-kata sapaan baru yang sebenarnya bukan berasal dari Surabaya, misalnya bahasa-bahasa gaul yang lebih banyak didominasi oleh bahasa asli Jakarta, sebagai ibukota dan ‘sentra budaya’ Indonesia pada masa itu.

Terlepas dari penafsiran yang dimunculkan sebagai dikotomi atas keberadaan 'jancuk' sebagai tradisi lisan kelompok masyarakat Surabaya, seharusnya, 'jancuk' ini dapat dilestarikan sebagai salah satu identitas orisinil dari salah satu kelompok masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan peran serta keluarga, terutama orang tua sebagai pilar pertama (dan utama) dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. Peran serta keluarga, terutama orang tua sangat diperlukan dalam upaya pelestarian 'jancuk' sebagai salah satu identitas orisinil kelompok masyarakat Surabaya, adalah bukan berarti dalam bentuk sebuah penonjolan terhadap dikotomi penafsiran dari 'jancuk', namun yang terpenting adalah memberikan sebuah pemahaman bahwa sebuah pisuhan—termasuk 'jancuk'—merupakan ciri khas dari Surabaya, yang harusnya perlu dibanggakan terlebih oleh anggota kelompok masyarakat Surabaya sendiri.

Kendati demikian, orang tua sebagai bagian dari konstruksi masyarakat yang lebih luas, tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari konstruksi besar yang melingkupinya,. Dimana dalam konstruksi tersebut, terdapat berbagai macam aturan dan kesepakatan-kesepakatan umum yang telah berlaku di masyarakat, sehingga sepakat atau tidak sepakat, membuat orang tua harus memposisikan dirinya sebagai bagian dari konstruksi sosial tersebut. Dampak nyatanya adalah, orang tua tetap ‘berkewajiban’—paling tidak atas nama moral dan kesusilaan—menanamkan, atau lebih tepat jika dikatakan memaksakan pada anak untuk secara sadar mengasumsikan bahwa pisuhan terutama 'jancuk' adalah sebuah ungkapan yang tidak pantas untuk diucapkan.*

Meski keluarga terutama orang tua sebagai pelaksananya menekankan demikian, anak, sebagai bagian dari masyarakat, tentu mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, mereka akan mengalami kontradiksi dan friksi (gesekan) baik secara psikis, maupun ideologi, dengan masyarakat pembentuknya. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya dikotomi terhadap penafsiran dari 'jancuk'.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun