Mohon tunggu...
Arief Junianto
Arief Junianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post. Saat ini menetap dan bekerja sebagai wartawan sepak bola di Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Multikulturalisme: Solusi atau Bunuh Diri ?

2 Juni 2014   18:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari surat itu terbaca bahwa Locke memaknai toleransi sebagai persamaan perlakuan di antara kelompok-kelompok keagamaan/kepercayaan. Atau dengan kata lain toleransi mengandung makna memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok agama untuk melaksanakan/menjalankan peribadatannya. Non-diskriminasi, keragaman dan toleransi merupakan elemen yang melekat di dalam hak atas kebebasan beragama.

Dari sinilah esensi beragama pun menjadi penting, sebab hak asasi manusia identik dengan ma’rifat agama. Dengan demikian, maka pola hubungan antara negara dan agama di Indonesia, menurut saya perlu segera direstrukturisasi. Negara melalui Departemen Agama sudah terlalu jauh mengintervensi kehidupan masyarakat, terutama bagi penganut agama maupun kepercayaan di Indonesia. Departemen Agama seharusnya mengurusi masalah yang bersifat administrasi pelayanan publik.

Pada dasarnya dampak pengakuan agama resmi itu menyebabkan beberapa agama lokal ataupun keyakinan-keyakinan seperti hendak ‘dipaksakan’ masuk ke dalam agama itu. Kebijakan negara yang mengintervensi agama setidaknya ada 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama, hingga yang berupa radiogram-radiogram. Berdasarkan data di Kejaksaan Agung periode 1949-1992, terdapat sekurang-kurangnya 51 aliran kepercayaan di Indonesia (KOMPAS, 6 Mei 2004). Bahkan aliran kepercayaan tersebut mengalami peningkatan sebanyak 8,8 juta per tahun (Suara Merdeka, 2 Mei 2005)

Penentuan agama legal itu pada dasarnya memiliki tujuan positif, akan tetapi pada pelaksanaannya, seringkali justru menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi di sini adalah dalam konteks keyakinan keagamaan, yang pada akhirnya dapat memunculkan dikotomi ‘agama resmi dan agama tidak resmi’. Akibatnya, masyarakat yang tidak menjadi bagian dari ‘agama resmi’ seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negara, seperti dalam hal pencatatan perkawinan, dan kelahiran.

Lebih radikal lagi, kelompok adat yang notabene berada di antara batas keduanya, kerap dianggap ‘tidak beragama’, padahal segala bentuk pelayanan publik sering menjadikan agama sebagai ‘paspor’nya. Artinya, tanpa mencantumkan ‘agama resmi’, orang akan mengalami kesulitan untuk memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan pengurusan Kartu Tanda Penduduk, percatatan perkawinan, dsb.

Sebuah pertanyaan yang menurut saya bisa dijadikan sebuah perenungan dan permenungan adalah, masihkah kita harus berdebat tentang keberadaan ‘agama resmi’ dan ‘agama tidak resmi’ itu, serta aliran-aliran kepercayaan serta penganutnya. Atau dalam kondisi lebih ekstrem, perlukah kita berdebat soal 'agama yang paling resmi di antara agama resmi'. Untuk ini, negara seharusnya menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk bernegosiasi dengan mereka serta untuk melaksanakan keyakinan keagamaan mereka. Negara seharusnya menampung berbagai aspirasi dari masyarakat dan memberikan tempat yang sama kepada semua pihak. Dengan begini, masyarakat yang sebelumnya telah terkotak-kotakkan itu pun tidak lantas kian mempertegas garis batas yang mengkotaki mereka itu. Aspek terpentingnya adalah menciptakan kerukunan antar umat beragama dan menghindari pertumpahan darah atas nama agama.

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia pun sudah seharusnya menempatkan diri sebagai agama yang ‘mayor’ di Indonesia, artinya tidak dengan menempatkan diri sebagai agama yang menguasai dan selalu ‘meng-atasi’ agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, inilah yang saya katakan sebagai wujud Islamisasi Indonesia. Pasalnya hal itu sudah barang tentu akan memicu ketegangan serta konflik dengan kelompok masyarakat penganut agama lain (dengan mengatasnamakan Tuhan). Satu lagi yang terpenting, resolusi yang harus segera diambil oleh negara jangan sampai hanya yang bersifat melegitimasi terbentuknya ‘Islamisasi’ tersebut.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun