JAKARTA-Keputusan Partai Demokrat untuk tetap mempertahankan pemilihan secara langsung Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) tidak terlepas dari partai Demokrat sebagai hasil dari pemilihan langsung pada 2004 silam.
Sejak diberlakukannya pemilihan langsung pada 2004 silam, partai berlambang Mercy itu sukses menghantarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden hingga 10 tahun. Inilah yang menjadi cikal untuk membuat RUU Pilkada dengan pemilihan langsung, setelah pada 2002 amandemen ke empat UU Dasar 1945 digedok.
Selang beberapa tahun kemudian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Pilkada yang semula menggunakan mekanisme pemilihan di tingkat DPRD masing-masing daerah diubah menjadi sistem pemilihan langsung.
Tidak heran jika SBY ngotot untuk tetap mempertahankan mekanisme pemilihan langsung dibanding dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang masih digodok di gedung parlemen itu.
Namun keputusan SBY untuk tetap mempertahankan UU Pilkada dengan mekanisme pemilihan langsung ini terasa ganjil. Pasalnya, fraksi Demokrat pada awal September lalu berpandangan untuk mendukung RUU Pilkada dengan sistem pemilihan di tingkat DPRD masing-masing daerah.
Hal ini mengindikasikan, pernyataan sikap Partai Demokrat melalui SBY maupun melalui Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Haryono yang mengaku UU Pilkada langsung adalah bagian dari roh Partai Demokrat tidak sejalan dengan pandangannya yang in-konsisten.
“Singkat kata, pemilihan langsung adalah jati diri dan roh Partai Demokrat,” pernyataan Haryono kepada jpnn.com ini seolah klise untuk membentuk perspektif publik bahwa merekalah pencetus UU pemilihan langsung.
Artinya, dimungkinkan ihwal SBY mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung adalah hasrat untuk berlabuh pada koalisi Jokowi-JK. Ini jika melihat sejumlah fakta terakhir yang terjadi.
Di antaranya beberapa waktu yang lalu, SBY melakukan pertemuan khusus dengan Jokowi. Dilanjutkan dengan wacana perampingan kabinet Jokowi-JK menjadi 24 kementerian diurungkan, dan akhirnya kursi menteri masih berjumlah 35, dikurangi satu.
Dimungkinkan, ancang-ancang SBY untuk tetap mempertahankan UU Pilkada 2007 dengan pemilihan langsung itu adalah strategi politiknya menghadapi pemerintahan era Jokowi-JK. Terlebih jika melihat statment sejumlah politisi Demokrat yang menegaskan bahwa Demokrat tetap menjadi penyeimbang pemerintahan.
Pernyataan yang dilontarkan Haryono itu seolah bukti bahwa Demokrat tidak ingin terlibat dengan pertarungan dua kubu antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Istilahnya cari aman. Namun lebih dari itu, Demokrat terlihat membuka cela untuk berlabuh ke pasangan Jokowi-JK dengan cara mendukung UU Pilkada secara langsung.
Namun lagi-lagi, Demokrat membantah jika pihaknya menyodorkan nama menteri untuk Jokowi-JK. Menurutnya Demokrat tetap netral dan hanya menjadi penengah dari kedua kubu. Bahkan tidak ada deal-deal politik terkait jabatan menteri, artinya Demokrat menegaskan tidak melakukan koalisi dengan Jokowi-JK.
Namun terlepas dari itu, in-konsistensi partai dengan dominan warna biru itu terlihat, setelah Demokrat tetap mengizinkan jika Jokowi tertarik dengan salah satu kader partai untuk menjadi menteri di kabinetnya.
Alhasil, keputusan Demokrat untuk tetap netral bukanlah keputusan final, terlebih SBY tetap menyokong Jokowi dengan tetap mempertahankan 34 kursi kabinetnya dan tetap mendukung UU Pilkada secara langsung.
Namun di sisi lain, langka Demokrat untuk tetap mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung itu berdampak pada kekuatan koalisi Jokowi-Jusuf Kalla di kursi parlemen. Pasalnya saat ini, RUU Pilkada dengan sistem pemilihan di tingkat DPRD masing-masing kota siap digedok lantaran koalisi Merah Putih yang digawangi pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memenangi hasil survei dari sejumlah fraksi parlemen.
Jika RUU Pilkada yang digetolkan Gerindra dan partai koalisinya ini tidak gol. Dimungkinkan, koalisi Merah Putih juga tidak akan berumur panjang. Ini yang membuat Gerindra tetap kokoh dengan argumennya bahwa RUU Pilkada pemilihan di tingkat DPRD efektif dan menghindari money politic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H