Kekeringan itu semakin terasa…dan bisa jadi akan selalu seperti ini…walaupun konon sudah merayakan pesta kemenangan ke-65 dan akan merayakannya ke-66 kalinya, tapi nyatanya tak lebih dari sebuah pesta pernikahan ala Ethiopia, konvoi mobel merci dan mobil mewah lainnya di sepanjang jalan Mekanissa ke Laphto atau ke arah Gabriel Church, kesenangan yang meliputi kedua hati pengantin, namun setelah pesta itu berakhir, sang pria akan berpikir dan bekerja keras untuk membayar dan melunasi hutang-hutang bawaan pesta.
Beda halnya kisah pengantin nile yang pernah dituturkan oleh anis mansur, pada tataran realiti tidak ada kemegahan, tidak ada party…dan bahkan kesunyian meliputi keduanya, terkunkung dalam sebuah regulasi atau sistem atau apalah yang mereka istilahkan yang sama sekali tidak jelas ujung pangkalnya, imprialisme gerutu pengantin pria, tapi kanda.. jangan sampai mereka menjajah kemerdekaan hati kita dalam keterpautan…pengantin wanita menimpali.
Itu sebuah ilustrasi yang penulis coba tuturkan untuk sebuah arti kemerdekaan, bahwa bagaimana bisa menikmati suasana “honey moon” yang penuh dengan keindahan kalau sibuk memikirkan hutang-hutang pesta, bagaimana bisa menciptakan dan melahirkan sebuah keluarga yang sakinah kalau waktunya habis digunakan untuk menutupi biaya pesta kemarin.
Pernikahan ala Ethiopia bukan sebuah kemerdekaan murni, tapi adalah sebuah kriminal atau bahkan imprealisme kepada pengantin wanita…pria tidak bisa membawa pengantin wanita untuk sampai kepada tataran “klimaks Honey Moon”, malah sebaliknya terbawa dengan iklim pria yang tercipta dari beban pesta kemarin.
Lalu pengantin nile, apakah menjadi solusi untuk sebuah kemerdekaan…jawabannya bisa iya, juga bisa tidak….karena pada tataran realiti tidak ada sesuatu yang absolute atau kemutlakan abadi, itu sangat tergantung dari persepsi dari sudutmana kita memandangnya. Kemerdekaan bisa berarti penjajahan, dan penjajahan bisa berarti kemerdekaan.
Setidaknya ada tiga kreteria yang bisa dipetik pada ilustrasi pengantin nile
- Keterkungkung dalam sebuah system
- Sikap frontal pengantin pria terhadap sistem
- Sikap defensive pengantin wanita yang terakumulasi dalam bentuk kecurigaan
Ketiganya dapat mengantarkan kita untuk memahami realitas kemerdekaan, sadar atau tidak sadar, selama ini sebagian bangsa kita mengartikan kemerdekaan itu adalah sebagai sebuah pesta yang menghabiskan miliaran bahkan mungkin triliunan kas Negara, pesta olahraga, upacara kemerdekaan, dan resepsi diplomatik, masih sangat terkungkung dalam sebuah system, dalam sebuah warisan adat yang bisa jadi bukan sebuah kemutlakan. (3)tiga birr memang tidak berarti bagi kita, tapi sangat berarti bagi pengemis jalanan di seputar mesjid Anwar Marketu, kemerdekaan bagi yang merayakan pesta, imprealisme bagi yang sangat membutuhkan 3 birr-an.
Kemerdekaan dalam frame semacam ini dapat melahirkan sikap frontal pengantin pria yang pada gilirannya memupuk rasa simpatik kepada perlawanan dan rasa ingin merdeka dari kemerdekaan yang ada, lalu apa arti kemerdekaan yang ada selama ini…kemerdekaan parsial..kemerdekaan yang tidak menyeluruh, bisa jadi itu jawabannya, tapi persepsi mereka yang suka berpesta, lain…mereka mengistilahkannya “dinamika kemerdekaan”. Itu adalah sebuah dinamika.
Pengantin pria adalah ilustrasi dari sebuah oknum atau komunitas yang tidak pernah merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, dan sikap defensive pengantin wanita adalah komunitas yang tidak mempunyai kekuatan untuk berteriak lantang…KAMI KELAPARAN…mereka hanya bertahan hidup untuk sesuap nasi atau segulung injira.
Lalu dimana arti kemerdekaan itu…. Penulis mengajak pembaca untuk belajar merdeka dari sebuah statement yang diucapkan pengantin wanita untuk menasehati pengantin pria “tapi kanda jangan sampai mereka menjajah hati kita dalam keterpautan” kedua hati pengantin tersebut merdeka dalam keterpautan menikmati besarnya anugera cinta, mabuk lalu hanyut dalam “klimaksnya honey moon” dan itulah sebenar-benarnya pesta dan kemerdekaan, kemerdekaan yang universal dan merata pada hati keduanya. merdeka di hati penguasa, dan merdeka di hati rakyatnya.
Terakhir… sebelum mengucapkan salam merdeka, penulis teringat sikap kemerdekaan seorang Omar r.a. dan membaginya kepada keluarga miskin di sudut kota madinah. Anak-anak dalam keluarga tersebut menangis menunggu masakan ibunya dari dapur yang tidak kunjung selesai, dan datanglah seorang tamu dan bertanya kepada sang ibu, apa yang anda masak, batu jawab ibunya.. sang tamu bertanya lagi, kenapa anda menanak batu.. sang ibu menjawab, untuk menenangkan anak-anak saya yang kelaparan sampai mereka tertidur… sang tamu langsung beranjak pergi menuju baitul mall dan memikul sendiri sekarung gandum untuk keluarga tersebut. Beliau adalah sayyidna Omar r.a. khalifah dan presiden islam setelah Abu Bakar.
Anda seorang Presiden, seorang Menteri, seorang ambassador, dan diplomat, ataukah local staff yang bergaji dollars, pernahkah ada keinginan untuk membagi kemerdekaan ini dalam sekarung gandum dan memikul sendiri lalu membagikannya kepada keluarga miskin di sudut kota ini.. ?
Selamat menyelami dan mencoba untuk sebuah arti kemerdekaan.
SALAM MERDEKA DARI ETHIOPIA
A.Aidid
Jamo, Addis Ababa
Tuesday, July 12, 2011 Pukul 04.21
NB. Refleksi untuk dirgahayu ke-66 kemerdekaan Bangsa-ku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H