Mohon tunggu...
yasmin oktaviani
yasmin oktaviani Mohon Tunggu... -

seorang penanya

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sebuah Unek-unek

29 Januari 2016   19:54 Diperbarui: 29 Januari 2016   20:04 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kita sedang marah sekali pada seseorang, atau mungkin pada suatu keadaan, pada hakikatnya kita sedang marah pada diri sendiri. Semakin besar rasa marah itu, maka semakin besar pula kadar kemarahan kita pada diri sendiri. Hal inilah, kata-kata inilah yang saya kutip dan saya terjemahkan secara bebas dari seorang Helap Hatta. Seorang yang tidak saya kenal secara pribadi di sebuah akun social media, tetapi kata-katanya cukup menggelitik untuk terus saya ingat dan bahkan menjadi semacam pegangan, sebuah pengingat, sebuah alarm.

Marah. Adalah emosi yang datang menghantam dan menggebu-gebu yang meminta untuk dilampiaskan. Paling melegakan adalah dengan cara melampiaskannya pada sumber kemarahan tersebut. Kalau bisa dengan suara menggelegar, fakta yang tak bisa dibantah, menuding mukanya, dan melotot sampai nafas tersengal-sengal. Well, meskipun tidak akan memenangkan gelar Ratu Cantik Sejagat, pengekspresian semacam itu tentunya akan membuat sedikit lega, meskipun efeknya sementara.

Marah pada orang lain terjadi ketika kita kecewa pada orang tersebut. Ketika apa yang kita harapkan dilakukan oleh seseorang ternyata tidak dilakukannya. Atau ketika seseorang tidak menepati kata-kata mereka sebelumnya, yang sudah kita catat rapi dalam hati sebagai sebuah janji dan dengan santai mereka mengatakan lupa atau tak ingat atau menolak mentah-mentah ia pernah mengatakan hal semacam itu. Atau mungkin ketika kita mengharapkan seseorang melakukan sesuatu yang kita ingin ia lakukan, sesuatu yang bagi kita merupakan common sense, suatu hal yang lumrah dilakukan tanpa harus kita mengingatkan atau cerewet. Tetapi lagi-lagi ia atau mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu common sense.

Contoh simpelnya seperti kebiasaan meletakkan baju kotor. Sesuatu yang lumrahnya diletakkan di tempat khusus cucian kotor ternyata malah diletakkan secara random mengikuti suasana hati. Sekali, dua kali diingatkan masih wajar. Tetapi ketika hal tersebut menjadi penyakit yang berulang kali dilakukan secara tak sadar oleh si oknum? Sebut saja namanya Mawar.

Biar tak ada yang merasa dituding atau dikambinghitamkan. Tentunya hal ini akan mengganggu kenyamanan bersama, iya kan? Ini masih dalam lingkup rumah, ranah pribadi. Hal ini akan menjadi gangguan yang meningkat sedikit lebih serius ketika menjamah ranah publik. Marah, tentunya, akan menjadi perasaan output bersama oleh pihak-pihak yang merasa terugikan.

Masalahnya adalah, kita tidak bisa mengubah orang lain. Well, sebenarnya saya sedang berusaha mengingatkan diri saya sendiri.

Mereka, si orang lain tersebut, terbentuk dari bahan yang sama seperti kita. Sama seperti kita tidak bisa diubah oleh orang lain, tentunya orang lain tidak bisa sekonyong-konyong berubah sesuai keinginan kita. Manusia terbuat dari komposisi 70% ego dan harga diri, 20% logika, dan 10%perasaan. Well, ini prosentase karangan sendiri sih. Maksud saya begini, menurut penjelasan Sigmund Freud yang mengatakan bahwa kita terdiri dari ego, superego dan id, bagian terbesar yang paling kentara dalam diri kita adalah ego (ehmm semoga tidak salah ya, belum saya cek). Ia menjadi semacam pagar besar yang melindungi kita dari ‘serangan’ luar. Serangan dalam hal ini adalah kritik dari luar.

Dan cara seseorang dalam menyikapi kritik yang ditujukan terhadapnya merupakan sebuah refleksi kedewasaan orang tersebut. Secara pribadi, saya adalah jenis manusia yang alergi terhadap kritik. Sebabnya adalah, saya merasa diri saya pribadi sudah lebih dari cukup untuk mengkritik diri saya setiap harinya. Jadi ketika kritik itu datang dari luar tanpa saya minta, masukan yang seharusnya bermaksud baik itu menjadi sia-sia karena saya terlanjur membangun benteng pertahanan. Oleh karena menyadari kekurangan saya dalam hal menerima kritik, saya mencoba untuk mengklasifikasi jenis kritik  untuk memudahkan saya mengingat ada kritik yang sebenarnya baik.

1.  Kritik penghancur

Kritik penghancur adalah jenis kritik yang dilontarkan seseorang kepada diri kita disebabkan ego orang tersebut. Ia merasa terancam dengan keberadaan kita sehingga ia merasa perlu melindungi egonya dengan cara ‘menyerang’ kita dengan kritik. Jenis kritik ini biasanya kasar, tidak sopan, kadang tidak tahu aturan, seringnya dilontarkan di depan publik untuk tujuan memperbesar efek serangan, dan terkadang lucu. Lucu ketika kritik tersebut disampaikan tanpa dasar yang jelas dan sifatnya mengarah ke ranah pribadi.

Biasanya menjudge seseorang berdasar pemikirannya semata tanpa mempertimbangkan hal lain. Orang-orang yang melontarkan kritikan jenis ini adalah manusia yang patut dikasihani karena cara ia mengkritik menunjukkan ketidakstabilan jiwanya, ketidakmatangan cara berpikirnya dan ketidakdewasaannya. Tujuannya sama sekali jauh dari membangun diri kita yang dikritik tetapi hanya untuk melepas hasrat pribadinya yang kejam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun