Mohon tunggu...
Humaniora

Mengapa Saya Berkereta

6 Desember 2015   08:14 Diperbarui: 6 Desember 2015   10:17 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

A developed country is not a place where the poor have cars. It's where the rich use public transport. (Enrique Peñalosa)

Rasanya sulit untuk tidak setuju dengan kutipan Enrique Peñalosa, eks walikota Bogota tersebut. Indikator kemajuan sebuah negara/kota bukanlah ketika jalan raya dibanjiri dengan mobil, motor, dan kendaraan bermotor lainnya (yang terkadang bahkan jumlahnya lebih besar daripada kapasitas jalan yang tersedia), tapi ketika negara atau kota tersebut memiliki sistem transportasi massal yang dapat diandalkan seluruh lapisan masyarakat. Paling tidak, itu yang saya amati dari beberapa negara maju yang pernah saya singgahi. Mobilitas masyarakat setiap harinya mampu dilayani oleh sistem transportasi massal yang terpadu dan dapat diandalkan. Akibatnya, jalan raya tidak lagi menjadi tempat parkir massal (seperti yang sering dijumpai di Jakarta setiap jam berangkat/pulang kerja) dan pemborosan energi dapat diminimalkan.

Masalah yang kerap muncul adalah: bagaimana agar masyarakat beralih dari menggunakan kendaraan pribadinya untuk kemudian mulai menggunakan transportasi umum? Negara-negara maju biasanya menerapkan kebijakan publik bidang transportasi yang menyediakan insentif bagi masyarakat untuk mau menggunakan kendaraan umum dalam aktivitas kesehariannya, baik dalam kecepatan, ongkos yang terjangkau, ketepatan waktu, maupun kenyamanan. Sebaliknya, ada disinsentif bagi mereka yang tetap bersikeras menggunakan kendaraan pribadinya. Bisa dalam bentuk biaya parkir yang tinggi, pajak kendaraan, pemberlakuan electronic road pricing (ERP), hingga molornya waktu tempuh akibat kemacetan yang ditimbulkan. Belum lagi stres dan rasa jenuh akibat kemacetan itu sendiri. "People respond to incentives", demikian salah satu prinsip dasar dalam studi behavioral economics. Perilaku manusia dipercaya akan berubah mengikuti perubahan cost dan benefit dari suatu tindakan. Jika dengan menggunakan kendaraan umum dipercaya lebih menguntungkan daripada tetap menggunakan kendaraan pribadi, maka niscaya masyarakat akan berbondong-bondong memilih pilihan yang terbaik bagi mereka.

Sudahkah Indonesia (khususnya ibukota Jakarta) mencapai hal tersebut? Menurut saya belum, tapi perlahan namun pasti sedang menuju ke sana. Setidaknya bisa dilihat dari transformasi luar biasa yang telah (dan masih) berjalan di perusahaan operator kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, PT KA Commuter Jabodetabek (PT KCJ). Mengapa saya bilang luar biasa? Karena saya dan mungkin ribuan pengguna setia KRL lainnya jadi saksi hidup bagaimana perubahan positif KRL dan prasarananya, dari zaman 'jahiliyah' dulu hingga sekarang. Saya mulai menggunakan KRL secara rutin sejak berkuliah di Depok dan harus menempuh perjalanan Cakung-UI setiap harinya. Sebelumnya pun memang sudah akrab dengan KRL dan KA karena bertempat tinggal tidak jauh dari Stasiun Cakung.

Pada masa-masa dark ages tersebut, menggunakan KRL (Ekonomi) adalah sebuah 'petualangan' tersendiri. Humor-humor satir seperti "waspada kaki tertukar di dalam gerbong" dan "kalau penuh silakan naik ke lantai 2 (maksud: atap KRL)" biasa terlontar di antara sesama penumpang. Terkadang penumpang KRL pun harus berbagi tempat dengan karung beras, keranjang barang dagangan, hingga hewan ternak (!) di dalam gerbong. Pintu-pintu gerbong KRL yang tak (bisa) tertutup kala itu juga membuat para roker (rombongan kereta) yang terpaksa bergelantungan di pintu masuk bagai bercanda dengan maut. Belum lagi udara panas dan pengap yang dianggap sepadan dengan harga karcis yang dibayar. Sulit membayangkan bahwa segala yang dulu kami anggap sudah taken for granted, suatu kondisi yang terberi dan mustahil untuk diperbaiki, kini telah lenyap tak berbekas. Sama sekali.

Sejak terbentuk sebagai anak perusahaan PT KAI pada tahun 2008, PT KCJ telah berhasil menjadikan pengalaman berkereta komuter tidak lagi semenyeramkan dulu. Bahkan, kebalikannya, kini menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dulu, stasiun-stasiun KA lintas Jabodetabek bukanlah tempat yang nyaman untuk menunggu berlama-lama. Kondisi peron tak ubahnya seperti pasar kaget, dengan beraneka macam penjaja barang 'menjajah' tempat yang seharusnya diperuntukkan untuk penumpang yang menunggu kereta. Stasiun yang tidak steril juga menyebabkan banyak orang yang tidak berkepentingan leluasa keluar-masuk stasiun dan mengganggu kenyamanan. Saya masih ingat betul kondisi Stasiun Manggarai pertengahan dekade 2000-an. Peron jalur 5 dan 6 'dikuasai' oleh penjaja makanan dan perkakas rumah tangga. Di dekat tangga, ada penjual gorengan dan DVD bajakan, sedangkan di ujung peron jalur 3 dan 4 menjadi tempat berkumpulnya para tuna wisma. Sampah juga tersebar di mana-mana. Sekarang? Rasanya menunggu hingga 2-3 jam di Manggarai pun bukan lagi masalah. Deretan convenience store serta gerai makanan & minuman di area stasiun membuat aktivitas menunggu bukan lagi hal yang menyebalkan. Kondisi stasiun yang steril dan terjaga keamanannya juga membuat nyaman untuk menghabiskan waktu dengan membuka gadget dan berinternet ria (apalagi di setiap stasiun tersedia charger gratis). Dan yang paling penting: stasiun-stasiun KA sekarang sangat BERSIH! Kebersihan stasiun terjaga dengan sangat baik dan kelihatannya para pengguna jasa KA juga menyesuaikan diri dengan tidak membuang sampah sembarangan.

Itu baru dari sisi stasiun. Dari sisi fasilitas keretanya sendiri pun juga telah berubah drastis. Kini semua rangkaian kereta telah memiliki penyejuk udara dan pintu wajib tertutup selama perjalanan. Kenyamanan sudah pasti, untuk keamanan apalagi karena sekarang di tiap kereta juga terdapat PKD yang siaga menjaga ketertiban. Pola operasi KRL juga telah berubah dengan penghapusan kelas ekonomi dan ekspres untuk dilebur menjadi KRL Commuter Line. KRL kini juga telah memiliki gerbong khusus wanita dan hadir dalam rangkaian 12 kereta untuk menampung penumpang yang semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Ekspansi pun terus dilakukan PT KCJ sehingga saat ini KRL telah menjangkau area suburban baru seperti Maja dan (nantinya) Rangkasbitung atau Cikarang. Semuanya dapat diakses dengan harga tiket yang sangat terjangkau. Fasilitas yang memadai, konektivitas yang luas, dan ditambah fakta bahwa saat ini KRL adalah moda transportasi massal di Jabodetabek yang paling terprediksi waktu tempuhnya membuat saya dan ratusan ribu masyarakat lainnya menjadikan KRL Commuter Line sebagai andalan dalam beraktivitas sehari-hari. Tidak salah memang jika PT KCJ memilih "Best Choice for Urban Transport" sebagai tagline layanan utamanya.

Tidak hanya perkara kenyamanan dan prediktibilitas waktu tempuh yang membuat saya makin cinta KRL, namun juga dalam hal pemanfaatan teknologi informasi (TI) dan multimedia di layanannya. PT KCJ adalah pelopor penggunaan aplikasi real time tracker resmi untuk armadanya yang dapat diunduh gratis oleh konsumennya. Sejauh ini aplikasi InfoKRL tersebut sangat membantu bagi saya dalam menentukan waktu yang tepat untuk menuju atau kembali dari tempat kerja dengan menggunakan KRL. Belakangan ini saya lihat PT KCJ juga mulai menambahkan fitur tersebut dalam LED display di tiap-tiap stasiun sehingga informasi dapat pula dijangkau oleh para penumpang yang tidak menggunakan smartphone. PT KCJ juga makin memanjakan penumpangnya dengan tersedianya fasilitas hiburan dan informasi dalam bentuk audio visual Linikini di beberapa rangkaian KRL. Tidak jarang saya mendapati banyak konten menarik dan informatif di layanan tersebut yang makin memperbesar nilai tambah pengalaman commuting dengan berkereta.

Sisi lain yang belakangan saya amati mulai diseriusi PT KCJ adalah aksesibilitas KRL Commuter Line bagi semua kalangan. Kini di setiap stasiun terlihat ada pembangunan ramp untuk kursi roda yang akan memudahkan kalangan difabel untuk menggunakan KRL. Meskipun mungkin masih ada kendala berupa adanya celah antara peron dan kereta, namun keberadaan petugas keamanan dalam (PKD) di tiap-tiap stasiun biasanya mampu membantu masalah tersebut. Selain itu, di beberapa kereta juga sekarang mulai terdengar on-board announcement bilingual: dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tentu ini akan sangat memudahkan para wisatawan asing yang berniat menjelajahi ibukota dan kota-kota satelit di sekitarnya dengan KRL. Di setiap stasiun pun kini hampir semua papan petunjuk (signage) telah dibuat dalam dua bahasa. Semuanya dibuat dalam kesatuan tema (warna, font, ukuran) yang menunjukkan PT KCJ sebagai perusahaan yang modern, profesional, dan punya cita rasa.

Semua hal tersebut adalah alasan utama saya memilih KRL sebagai moda transportasi utama dalam beraktivitas. Namun ada dua hal penting lain yang juga membuat saya memilih berkereta. Pertama adalah sebagai bentuk kontribusi kecil saya dalam mengurangi kepadatan dan kemacetan jalan di Jakarta sekaligus mengurangi jejak karbon dan menjaga keberlangsungan lingkungan. Hal lainnya adalah karena transformasi yang dialami KRL ini sangat inspiratif. Peningkatan kualitas layanan dan inovasi yang terus menerus dilakukan PT KCJ sungguh layak diacungi jempol. Membawa optimisme kalau perubahan ke arah yang lebih baik selalu bisa dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh, meskipun awalnya terlihat sangat mustahil. Sebagai 'saksi sejarah', hingga kini pun saya masih terkagum-kagum setiap mengenang perbedaan KRL di era 2000-an dan perbandingannya dengan sekarang. Saya berharap bukti nyata perubahan positif PT KCJ dan juga PT KAI ini mampu menular ke penyedia layanan publik lainnya sehingga mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih maju dan lebih baik. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun