masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari,TBk (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti.
Konflik berawal saat terbit SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara disebutkan didalamnya untuk mengharuskan kepada PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Surat Dinas Kehutanan Sumut Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009 TPL dan yang terbaru RKT TPL 2013 berlaku layaknya pemegang tunggal penguasaan hutan di wilayah eksplorasi dan sekitarnya. Tentu peraturan itu telah mengesampingkan Hak masyarakat adat atas pengelolahan lahan di Indonesia. Pasca keluarnya SK itu Sampai pada Tahun 2013, PT.TPLÂ telah menguasai areal hutan kemenyan seluas 1000 Ha.
Konflik kembali memanas yang ditandai dengan penangkapan 16 orang masyarakat adat oleh Polres Humbang Hasundutan. Tentu hal ini membuat masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta merasa terpukul atas bentuk pidana yang dikenakan oleh pihak kepolisian. Sementara masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta hanya mempertahankan tanah adat/ ulayat yang merupakan hutan kemenyan yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang telah ditempuh penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun pusat. Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan menampung aspirasi masyarakat dan meneruskan aspirasi tersebut ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta. Berulangkali Pemerintah Kabupaten melayangkan surat ke Kementerian Kehutanan RI di Jakarta agar PT. TPL menghentikan sementara kegiatannya di wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan sampai penetapan tapal batas antara konsesi lahan yang dimiliki PT. TPL.
Dalam menentukan batas-batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar desa Pandumaan-Sipituhuta dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tapal batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar huta mereka, dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tidak seorang pun diantara mereka yang boleh menjual areal yang mereka miliki dan usahai kepada pihak lain di luar komunitas dua desa ini. Kalaupun ada yang akan mengalihkan kepemilikan, harus dialihkan kepada sesama komunitas dari dua desa tersebut. Demikian halnya dengan menentukan batas-batas areal dengan areal milik desa lainnya, mereka memiliki kebiasaan dan ketentuan yakni perbatasan Tombak Haminjon milik desa Pandumaan dan Sipituhuta ditentukan berdasarkan tumbuhnya jenis rotan.
Lokasi areal hutan kemenyan milik masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta terletak di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi Sumatera Utara. Areal Hutan kemenyan diperkirakan seluas 4100 Ha dengan jumlah penduduk kira-kira 700 kepala keluarga. Hutan kemenyan atau disebut hamijon oleh masyarakat setempat, sudah dikelola masyarakat adat beratus-ratus tahun lamanya. Areal kemenyan itu sudah menjadi tulang punggung perekonomian sejak nenek moyang masyarakat Pandumaan Sipituhuta membuka hutan menjadi areal kemenyan. Kemenyan merupakan mata pencarian utama masyarakat desa Pandumaan-Sipitu Huta dan hasil tanaman kemenyan inilah terkenal hingga keluar negeri, oleh karena itu kemenyan harus diselamatkan dari penebangan/ pembabatan oleh pihak PT. TPL.
Hampir 65% masyarakat Humbang Hasundutan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Jarak antara rumah warga dengan hutan kemenyan bisa mencapai 3 jam perjalanan naik sepeda motor. Masyarakat adat bisa mencapai waktu seminggu berada di tengah hutan untuk mencari getah kemenyan. Penghasilan mereka beragam, namun rata-rata penghasilan masyarakat adat dari hasil kemenyan dalam seminggu hanya sebesar Rp.350.000/kepala keluarga.
Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena Konflik pertanahan merupakan salah satu masalah yang harus dijawab dan diselesaikan oleh pemerintah, perusahaan TPL dan masyarakat desa Pandumaan Sipituhuta. Peneliti memfokuskan kepentingan pada PT. TPL dengan Pemerintah,juga usaha untuk menangani konflik tanah adat yang dilakukan oleh masyarakat desa dan tapal batas lahan adat yang disengketakan.
http://www.ksppm.org/kronologis diakses 5 Juni 2013
9http://www.humbanghasundutankab.go.id/news/general-default/08-03-2013/pemkab-humbahas-dan-
masyarakat-sama-sama-berjuang-dalam-penyelesaian diakses pada 12 Mei 2013
Ketua Dewan Daerah AMAN Tano Batak James Sinambela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H