Aborsi tetap menjadi masalah kotroversi yang sudahada sejak sejarah ditulis orang. Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan dengan cara tertentu sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya yaitu pada usia janin kurang dari 20 minggu dan berat badan janin kurang dari 500 gram (Mohammad, 1998). Tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun aborsi di Indonesia jelas-jelas dianggap tabu, dan dilarang oleh undang-undang, namun dalam praktiknya jumlah kasus aborsi cenderung meningkat dari waktu-kewaktu. Insiden aborsi di Indonesia tergolong sangat tinggi, diperkirakan sekitar 2 juta perempuan Indonesia mengakhiri kehamilannya dengan aborsi dan sebagian besar diantaranya adalah aborsi yang tidak aman (Dwiyanto, 1990).
Persoalannya adalah, bahwa hukum tidak memberi tempat bagi pelayanan aborsi yang aman, maka para perempuan yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki, dan oleh alasan tertentu tidak ingin melanjutkan kehamilannya, terpaksa harus pergi ke penolong aborsi yang tidak memiliki kompetensi untuk memberi pertolongan secara aman, misalnya ke dukun aborsi, dengan resiko mengalami komplikasi kesehatan dan bahkan kematian (BKKBN, 2000). Seperti diketahui bahwa angka kematianmaternal di Indonesia masih tinggi, bahkan tertinggi di Asia dan kurang lebih 11%, diantaranya terjadi karena pertolongan aborsi yang tidak aman. Data 1995 menunjukkan bahwa 600.000 perempuan mati karena kehamilan dan persalinan (SKRT 1995). Dari angka tersebut 66.000 mati karena aborsi (Fatorrahman, 1999). Data statistik di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah menunjukkan 95% yang datang konseling adalah untuk konsultasi soal aborsi. Ini menunjukkan bahwa konseling remaja tak akan bisa lepas dari tingginya persoalan aborsi. Kalau kemudian beredar isu bahwa legalitas aborsi bisa diatur, itu juga menunjukkan bukti bahwa aborsi sudah menjadi “kebutuhan” bagi sekelompok komunitas (Anonim, 2004).
Praktik aborsi dilegalkan menurut PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi terutama pada BAB IV pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.” Sedangkan Ketentuan Pasal 34 ayat (2) PP 61/2014 mengatur bahwa kehamilan akibat perkosaan harus dibuktikan dengan: a) usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b) keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Kejadian pemerkosaan yang tidak diinginkan oleh seorang perempuan dapat menyebabkan trauma dan beban psikologis seorang ibu jika kehamilannya tetap dipertahankan. Ketika anak yang tidak diinginkan itu lahir, maka seorang ibu akan menanggung beban anak tersebut sendiri. Padahal, anak yang dilahirkan tersebut notabene merupakan korban kejahatan yang nantinya akan lebih menyusahkan seorang ibu tersebut jika tetap dipertahankan.
Proses pelegalan aborsi menurut PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi dapat membuka peluang untuk disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika praktik aborsi itu dilegalkan artinya akan banyak masyarakat Indonesia yang akan melakukan aborsi jika kehamilannya tersebut tidak diingikan. Padahal, prkatik aborsi sangat membahayakan terutama bagi seorang ibu yang sedang mengandung. Secara normatif hak anak untuk hidup dilindungi oleh undang-undang sehingga masalah aborsi menyimpang dari UUD 1945. Menurut UUD 1995, anak yang masih dalam kandungan sampai berumur 18 tahun merupakan tanggung jawab negara. Negara sangat melindungi hak-hak anak, seperti hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keamanan, dan hak untuk memperoleh pendidikan. Sehingga sangat disayangkan apabila PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi itu tetap diberlakuakan di Indonesia. Sehinga revitalisasi PP sangat diperlukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H