“Besok puasa Pak Aan?” Tanya seorang karyawan kepadaku sambil membawa selembar kertas. Aku lirik apa isi di kertas tsb, disana berderet kolom yang ada nama -nama karyawan. “Iya Buk, aku ikut” Jawabku. “2 hari ya pak, rabu dan kamis” Katanya memperjelas. “Mau diganti apa pak makan siangnya? buah? roti?” tanyanya lagi. “Buah aja buk” jawabku. Hehmm, sekilas memang sederhana percakapan diatas. Sebuah percakapan singkat yang dilakukan di tanggal 7 Dhzulhija 1433 H, artinya. Puasa besok yang dimaksud adalah puasa tanggal 8 dan 9 Dhuzhijah 1443 H. Point pertama yang menarik adalah, di lembar kertas tadi, aku bukan orang pertama yang menyatakan puasa. Saat aku inceng (istilah lain dari mengintip, hahahaha) sudah banyak yang menyatakan kesediaan puasa di 2 hari tsb. Mungkin sekitar 30an orang. Dari total 100an karyawan, itupun belum semua ditanyain. Belum karyawan di gedung office, engineering, QO dan departemen yang lain. Wow, bakal berapa banyak yang akan ikut berpuasa? Beruntung aku ada di lingkungan yang mendukung kebaikan seperti ini, sebuah lingkungan yang ‘mengkondisikan’ untuk bisa beribadah secara berjamaah. Jika suatu ibadah dikerjakan secara bersama-sama oleh banyak orang, dilakukan pada waktu yang bersamaan pula, maka suasana lingkungan tersebut ‘memaksa’ kita untuk selalu berbuat baik. Sama persis saat kita Ramadhan, suasana, iklim (hehehe, prakiraan cuaca kale), aura, dan hawanya adalah kebaikan. Jika ada yang tidak mengikuti arus dan suasana ini maka ia menjadi kelompok yang kecil. Dan mau tidak mau, akan ikut pada suasana kebaikan. Makanya di bulan Ramadhan, kita lebih ‘ringan’ untuk melakukan ibadah dibanding di luar Ramadhan. Terbukti, saat Ramadhan, sholat wajib plus ditambah sunnahnya terasa ringan dilakukan. Setelah Ramadhan?
malu jawabnya. Pas bulan Ramadhan, sholat tarawih (yang esensinya sholat malam yang dilakukan di awal waktu) begitu semangat kita lakukan secara berjamaah. begitu kelar Ramadhan? Hilang terbang terbawa angin, hehe. Waktu Ramadhan rajin baca Qur’an, setelah Ramadhan ganti baca koran, fb, twitter, tablet, majalah yang lebih sering kita lakukan. Point kedua, sikap kepedulian sosial yang tinggi diatas boleh gw bilang amat sangat jarang terjadi di lingkungan kita, setidaknya itu yang aku rasakan. Masih ada orang yang secara SUKARELA seperti ibuk tadi yang menanyaiku tentang sunah mengerjakan puasa, dan dia menanyai semua karyawan. Ini hal yang luuuuuuaaarrrr biasa!! bagiku. Sebab, saat ini yang lebih menonjol di masyarakat kita adalah sikap apatis. Yang penting dia hidup tidak terganggu maka ia juga akan masa bodoh dengan orang lain. Maka, sudah bukan menjadi hal yang langka jika tidak saling kenal tetangga, pak RT tidak kenal warganya, pun warga tidak kenal ketua RTnya. Di jalan raya, jika ada kecelakaan. Maka sudah tidak banyak orang yang menolong, atau bahkan kita pernah mengalami. Begitu melihat kecelakaan, kita lihat sudah ada beberapa warga yang merubung (entah menolong atau tidak), maka bisa dipastikan kita akan tetap melaju. Ahh, sudah ada yang menolong. Pernah aku terjatuh dari motor di sekitar pasar kramat jati karena jalan licin. Aku jatuh tersungkur, tubuh
ndlosor (bahasa jepang neh
) ke depan hampir nabrak demper belakang angkot. Motor nyungsep ( bahasa magetan kalau yang ini, hehehe) dibawah angkot. Aku harus bangun sendiri, menuju ke pinggir jalan. Hanya ada warga yang membantu meminggirkan motorku yang agak rusak dibeberapa sisi, seperti spion pecah dua-duanya, slebor
beret (tergores kalau bahasa indonesianya). Bahu dan kakiku tidak lecet, tapi kayaknya salah ada yang aneh, benar saja besoknya ngilu banget. Karena masih bisa di hidupkan motornya, dan masih bisa jalan maka motor aku naiki lagi sampai kontrkan di salemba, sekitar 15 KM dari TKP. Kenapa bisa jatuh? usut punya usut, ternyata ada oli yang tercecer di jalan yang kebetulan pas waktu itu hujan dengan kondisi penerangan jalan yang kurang (selepas maghrib kejadiannya). Setelah aku terjatuh, ada mas-mas yang juga terjatuh, dia bilang ada beberapa motor yang jatuh juga. Pertanyaanku, kenapa yang ‘membuat’ oli tercecer tidak bertanggung jawab secara tuntas pada olinya? (sayang aku gak tau siapa yang punya olinya
) Masih seputar di jalan, pengen curhat aja sich. Entah kenapa, aku paling benci kalau melihat ada orang yang buang sampah ke pinggir jalan seenaknya. Sering, bahkan terlalu sering aku liat penampakan, tiba-tiba jendela mobil terbuka, sesosok tangan muncul membawa bungkus makanan, dan tuing..!! dibuang begitu saja. Arrghhhh!!!
hate it!. Atau ada orang naik motor sambil minum minuman ringan dingin, glek glek cesss.. enak pol keliatannya. Ehhh, begitu air minumnya habis, wadah dibuang begitu saja di jalan. Beruntung aku tidak diajarkan seperti itu oleh orang tuaku, dari kecil aku diajarkan untuk buang sampah di tempat sampah. Dan sampai besar begini, slogan itu tetap berlaku. Jadi, slogan buang sampah pada tempatnya bukan slogan untuk anak kecil saja lho! buat orang dewasa saja. Ada yang hilang sedikit demi sedikit di kepribadian kita, yaitu rasa peduli terhadap sesama. Bahkan untuk hanya sekedar bertegur sapa dan mengingatkan, kita merasa malu. Sebuah renungan untukku dan kita, semoga kita bisa berubah. Jangan buang sampah sembarangan ya….. Jika mas dan mbak punya pengalaman terkait sikap apatis ini, monggo di share (9ethuk).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Pendidikan Selengkapnya