Ruh Yang Tiada
Karya : Helmi Mutdalifah
Simfoni rindu mengalir syahdu. Mendamaikan kalbu yang mulanya sendu. Bertemankan ilalang pada gelapnya malam. Rindu telah merombak hati, kepadanya yang telah pergi. Meski hanya jasad tapi jiwa kan tetap abadi, terpatri dalam diri.
Masa kekanak-kanakanku telah beranjak kemasa remaja. Dimana masa SMPku telah berakhir pula, aku harus melepas predikatku sebagai anak ingusan menjadi gadis remaja. Karena merasa ilmu yang kudapat belumlah tiada apa-apanya, aku pun bertekad kuat untuk menimba ilmu dan lebih memperdalam ilmu agama di kota santri yang berada di Jerukmacan desa Sawo Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Lebih tepatnya aku nyantri di penjara suci Darul Falah ( Islamic Boarding Of Darul Falah ). Tempat yang mulanya asing bagiku namun kini menjadi rumah keduaku.
Hari-hari di penjara suci ini kulalui dengan penuh ta’dzim dan keikhlasan. Ku jalani semua yang ada semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya. Hidup adalah tantangan, dimana didalamnya pasti banyak batu-batu terjal yang menghantam ketenangan jiwa. Perasaan suka maupun tak suka terhadap teman seperjuangan pastilah ada, karena di pondok hidupnua bersama-sama yang awalnya berasal dari kota-kota yang berbeda. Dengan begitu aku tanamkan dalam diriku jiwa sosial yang tinggi untuk memupuk rasa solidaritas antar sesama makhluk ciptaan-Nya.
“Khansa… luarnya saja kamu terlihat polos nan anggun, tapi dalamnya bak seonggok daging busuk yang menjijikkan” ucap seorang wanita dengan nada tinggi kepada Khansa.
“Apa maksud kamu Kia, kenapa kamu mengucapkan kata-kata kotor seperti itu kepadaku” jawab Khansa dengan tidak percaya atas apa yang barusan didengarnya.
“Alah nggak usah pura-pura tidak tahu kamu, aku sudah tahu semua kebusukanmu selama ini” tambahnya lagi.
“Aku nggak ngerti maksud kamu Ki…” jawab Khansa lagi dengan penuh tanda tanya.
“Selama ini kamu selalu menikam teman-teman kamu dari belakang. Kamu selalu mengerjakan tugas sastra diam-diam tanpa sepengetahuan teman-teman kamu, yang pada akhirnya nanti kamu mengumpulkan tugas lebih awal dan disanjung oleh guru-guru sastra. Terlebih yang tidak kusangka kamu ternyata menjalin hubungan dengan Fahri padahal kamu tahu sendiri kalau aku mendambakannya dari dulu” ucap Kia panjang lebar mengutarakan isi hatinya.
“Asstagfirullah… aku tidak sebusuk yang kamu pikirkan Kia, aku tak seperti itu. Kalau aku bisa kenapa aku tak mengerjakannya, tapi aku tidak mengerjakannya secara diam-diam. Dan aku tidak ada hubungan dengan Fahri. Kita hanya temanan saja” jawab Khansa membela dirinya seiring berjatuhannya air mata.
“Alah omong kosong belaka, terus apa isi surat ini” tambah Kia dengan menunjukkan sebuah surat dengan amplop warna merah hati tentanda Fahri untuk Khansa.
“Jujur , memang aku menyimpan rasa kepada Fahri, sama dengan dia kepadaku. Tapi aku tidak mau menjalin hubungan lebih dari sahabat karena tujuanku disini menimba ilmu bukan untuk mencari jodoh. Dan Fahri juga sering mengirim surat kepadaku, tapi aku tak sering membalasnya karena aku tak ingin memberikan harapan lebih kepadanya” jelas Khansa masih dalam tangisnya.
“Terserah apa alasanmu, aku nggak percaya” jawab Kia sambil berlalu meninggalkan Khansa.
Kilatan petir menyambar-nyambar seiring hati Khansa yang terasa getir. Dia tak tahan dengan perkataan-perkataan jelek temannya tadi yang untuknya. Ingin rasanya dia menangis dalam dekapan ibundanya, namun itu tidak mungkin karena liburan pondok masih panjang. Namun beberapa saat kemudian, Khansa dipanggil pengurus untuk ke ruang BK. Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apa gerangan. Mungkinkah pengurus tahu tenyang perdebatannya dengan Kia tadi ?.
“Assalamualaikum…” sapa Khansa memasuki ruang BK.
“Waalaikumsalam… silakan masuk Khansa” jawab pengurus yang ada didalamnya.
“Ada apa ustadzah…” tanya Khansa dengan ragu-ragu.
“Maaf sebelumnya Khansa, kami dari segenap pengurus pondok pesantren Darul Falah turut berduka cita. Kami harap jangan terlalu lama larut dalam kesedihan” ucap ustadzah.
“Turut berduka cita atas apa ustadzah ?” tanya Khansa lagi semakin penuh tanda tanya.
“Ibu kamu telah dipanggil Allah SWT pulang kesisi-Nya Khansa, karena sakit kencing manisnya kian parah. Ikhlaskanlah karena semua yang diciptakan akan kembali kesisi-Nya suatu saat nanti” tambah ustadzah member tahukan bahwa ibu Khansa telah meninggal dunia.
“Allahuakbar… innalillahi wa innailaihi rajiu’un. Apakah saya tidak salah dengar ustadzah ?” ucap Khansa dengan tangis yang meledak membasahi pipinya.
Apakah kerinduan yang dirasakannya tadi sebuah pertanda bahwa ibunya akan pergi meninggalkannya ? Khansa pun hanya bisa berdo’a agar ibunya mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya, hidup tenang di alam Barzah sana. Meskipun ibunya telah tiada, namun hanya ruhnya saja. Jiwanya tetap menyatu dalam dirinya. Bersemayam didalam hatinya, hingga waktu mempertemukan mereka dikehidupan yang selanjutnya.
Mojokerto, 21 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H