................................
Pendar bulan di suatu subuh. Sebagian jatuh di bening matanya, sedang sebagian lagi tertutup reranting.. “Aku tercekik rindu” begitu sebuah pesan yang kau tulis. Bagiku itu cukup menemanimu yang serupa dirajam gelisah, berbincang sekedar menunggu waktu sambil sesekali tatapan matanya yang membakar rindu.…Perempuan itu terdiam perih..
.................
“Beningmu luruhkan air mata dan meninggalkan jejak basah di kedua pipiku..Tak mampu merejam rasa di kejora matamu, selama kita masih berada di bentang langit yang sama” itu katamu pada pagi selepas subuh.
.....................
Teduhmu menempati tiap sudut di jiwaku, betapa naifnya jika aku tak merindumu, dan aku akan selalu menunggu setiap jejak kakimu menujuku. Aku menunggu dalam jarak yang begitu jauh. Kapan kau akan benar-benar berlayar dan berlabuh ke hatiku..? Bisakah kita menyingkat jarak dan aku dapat memelukmu dalam sekali rengkuh. Adakah aku, sedetik saja mampir di benakmu di hari yang hampir selesai?
........................
Aku ingat, waktu itu senja hampir sekarat dan gerimis jatuh basahi bulu matamu, catatan kecilmu kusam nyaris tak terbaca olehku. Lalu kau kutuki dirimu “Baiknya matikanlah rasa itu, rasamu yang mencintaiku” Aku telah membunuhnya dan menguburkannya di bawah pohon di atas bukit tanpa nisan.Begitu katamu pada malam saat embun mulai mendekap..Kalimat itu berderit hingga menusuk relung hati..
............................
Yang mampu ku ingat lagi, percakapan kecil kita, saat kau dan aku duduk beralaskan rumput di taman kota, sepanjang berbincang denganmu aku tak pernah bosan, ku nikmati tiap kata yang tumpah serupa biscuit, kunikmati lincahmu mengejar kupu-kupu yang sayapnya kuning biru, lalu kamu dengan antusias mengumpulkan kembang berkelopak jingga hingga rok sepanjang mata kakimu penuh di tusuki rumput jarum kelabu.
Sesaat hening…
..............................
Gigil rindu mengetuk ubun-ubun, sedang semesta adalah pembatasnya..Gerimis menggenang di pelupuk mata..nadiku kembali berdenyut. Kata-katamu meniupkan ruh dalam hatiku. Tak mengapa bila semesta berdiri di tengah-tengah kita, sudah cukup bagiku meski hanya mampu bersenggama dalam lembab matamu.
........................
Aku merasa menjadi lelaki yangberharga, meski tak kau ijinkan memiliki hatimu. Memaknai tulusnya jiwamu, membuatku tak mampu berkata-kata, apalagi melupakanmu. Menjadi lelaki paling berharga, ketika aku bisa sangat dekat dengan hatimu, mengurai aksara dalam bentang langit milik semesta, dan aku masih terus menikmati indahmu…
..........................
Ditulis pada sebuah malam, 25 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H