Pada sebuah sore yang kering
lelaki senja merenung di kebun sayur
berbincang dengan beberapa ekor ikan di kolam yang sempit
di kandang, celoteh marmut nyaring berdenting
anak-anak ayam riuh menunggu di buai.
lelaki senja tersenyum ranum
hidup bukanlah ke-niscayaan
hari ini adalah harapan untuk esok
sesekali batinnya berteriak dengan gaya tirani
kapitalisme mendarah daging
membumi, lahirkan keterbelakangan sebuah kaum
ada kegirangan bocah-bocah ditengah bencana
ada duka nestapa perempuan di kolong langit
mereka butuh penopang,mereka butuh tempat
Tuhan menegur kita, itu jika merasa peka
di belahan bumi yang disebutparelemen
mereka serupa raja diraja, digdaya kuasa
harus cemburu kah kita…? amarah pun merajam
ketika kebersamaan dan kejujuran tak lagi ada
masih perlu kah kesepakatan dan kesetiaan
kesungguhan hanya menjadi barang spekulan
raja diraja tak ubahnya si pengerat
menjadi maling di negeri sendiri
lupa sesiapa, darimana asal,bagaimana bisa
semua punya peran, semua bermain
menurut cerita negeri ini kaya raya
tapi tak ubahnya negeri dongeng
kebebasan adalah harga mati
terinjak-injak di negeri sendiri
kecurangan menjadi hal yang biasa
bocah-bocahkehilangan cerita
pergi pagi mengais asa
tangisi ibunya yang telah mati
lelaki senja mengenyam rasa
punguti tiap helai airmata
lelaki senja mendekap erat
tubuh ringkih bocah tak berdosa
mari kita pulang sebelum hujan jatuh di dahimu
sebelum angin melintasi halaman
disana ada cerita, harapan dan cinta
yang lebih menggoda dari sebuah mata dadu.
di beranda usang bisa belajar cinta
sambil memandangi bunga tapak dara
di beranda usang kita mari kita belajar
mencintai negeri dengan hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H