Aku adalah salah satu di antara orang-orang yang memiliki rasa takut yang besar. Rasa takut membuat “aku kecil” selalu berusaha mengerjakan PR ku dengan benar (walaupun kenyataannya aku pernah mendapat nilai di bawah angka 5 waktu itu). Rasa takut membuat “aku kecil” menangis saat tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Rasa takut membuat “aku remaja” tidak ingin bolos sekolah. Rasa takut membuat “aku dewasa” berusaha belajar lebih keras untuk apa yang aku cita-citakan (walau masih jauh dari kata “disiplin”). Rasa takut membuat “aku dewasa” mengerjakan profesiku dengan tetap hati-hati (tapi tentu saja aku pernah berbuat kekeliruan).
Rasa takut membuat aku mencari tahu, apa sebenarnya rasa takut itu, dan berusaha belajar untuk mengendalikannya dengan mencari berbagai referensi. Belajar dari bayi penyu yang kukutip dari buku “The Power of Nekat” yang ditulis oleh G. Sembada, begitu menetas bayi penyu yang baru berumur beberapa jam sudah menetapkan tujuan yang jelas dan tegas. Mereka meninggalkan cangkang telurnya dan langsung berbondong-bondong ke laut, seganas apapun rintangannya. Tak peduli ombak sedang tinggi atau surut. Tak menggubris cuaca buruk. Seolah-olah tidak ada rasa takut di sana. Dari sini aku belajar untuk memiliki rencana ke depan, mengetahui apa yang kita inginkan, sehingga dari sebelumnya kita sudah menyiapkan segala kemungkinan walaupun nantinya kita tau, ada campur tangan Tuhan yang bisa menggeser apa yang ada dalam rencana kita. Namun setidaknya kita sudah sedia payung sebelum hujan. Mengingat sebuah kalimat bijak (aku tak begitu ingat ini dari siapa) jika kita tidak merencanakan keberhasilan, mungkin saat itu kita sedang merencanakan kegagalan.
Mengutip sebuah buku yang dihadiahkan oleh seorang dokter ahli forensik pembimbing semasa kuliah, judulnya “100 Ways to Motivate yourself” yang ditulis oleh Steve Chandler, aku jadi menyadari bahwa rasa takut umumnya bersumber dari misi hidup kita yakni “tidak ingin menjadi orang yang memalukan”. Kita merasa takut kelihatan jelek sehingga kita merasa penting untuk “tidak” menghadapi risiko itu. Kita bereaksi pada penilaian imajiner orang lain. Padahal ternyata kita dapat memotivasi diri sendiri tanpa rasa takut dan tergantung pada pandangan orang lain. Mungkin yang kita butuhkan adalah sebuah pertanyaan sederhana dan selalu diingat ”mengapa setiap hal yang saya rasakan harus bergantung pada pendapat orang lain?”
Dari buku yang sama, aku belajar untuk ”tidak khawatir” atau lebih tepatnya jangan ”hanya” khawatir. Ubahlah kecemasan jadi tindakan. Ketika takut akan sesuatu hal, tanya pada diri sendiri ”apa yang bisa aku lakukan menyangkut hal ini, saat ini?” lalu lakukan sesuatu, apa saja, sekecil apapun.
Saat merasa takut akan masa depan, aku jadi teringat obrolan yang kulakukan dengan seorang yang masih ada hubungan keluarga denganku, yang mengatakan bahwa jika kita melihat ke belakang, maka kita akan sadar bahwa sebenarnya kita sudah melewati rintangan yang banyak, tapi ternyata kita masih hidup dan tetap berdiri tegak sampai sekarang. Artinya apa? Bahwa kita perlu percaya sepenuhnya bahwa Tuhan itu menjaga kita, Dia memberi kita masalah berikut jalan keluarnya. Nah, mungkin yang perlu kita temukan adalah kunci dari pintu solusi itu, dan disitulah petualangan yang mengasah kedewasaan kita. Jauh-jauh haripun Tuhan sudah menyebutkan dalam Al Qur’an sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S. 94:5).
Aku tahu bahwa saat ini aku belum sepenuhnya berhasil mengendalikan rasa takut. Tapi aku percaya, ada banyak pengalaman hidup saat kita mencoba mempraktikkan satu persatu apa-apa yang sudah kita pelajari. Kerahkan semua kemampuanmu, tubuhmu, akalmu, hatimu untuk belajar dan menggali sebanyak-banyaknya dari apa yang menjadi kelemahanmu, lalu jangan lupa untuk menghargai apa yang menjadi kelebihanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H