"Etaaaa! sudah jam berapa ini!? jangan lupa segera bantu Epen kasih makan babi-babi di kandang. Dia sedang mencari batang pisang, kamu jangan enak-enak tidur di dalam kamar!" Teriak mama Yuli menyerupa suara klakson tronton roda enam tiba-tiba memecah keheningan.!
Suara itu menikam gendang telinga Eta. Ia membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Nafasnya merayap satu-satu. Tak ada siapa pun di dalam kamar itu. Hanya sekaleng bekas minuman dingin yang tergeletak begitu saja di lantai kamar.
***
Eta, gadis berusia enam belas tahun itu terhitung sebagai sosok anak yang penurut. Ia jarang bersilat lidah dengan Mama Yuli soal apa saja yang harus dikerjakannya di rumah. Kulitnya hitam manis, wajahnya oval, matanya bulat sempurna, rambutnya setengah ikal. Eta punya banyak teman, juga mimpi yang sama seperti anak-anak seusianya: bersekolah, lalu bekerja sebagai bidan seperti Mama Nia bidan yang bertugas di kampungnya. Sejak kecil bidan itu telah menginspirasinya.
Hijrah ke kota untuk menumpang hidup di rumah keluarga adalah satu-satunya garis nasib yang tak mampu ia hindari. Baginya, garis itu bagai aliran sungai yang kelak akan memuarakan segenap kehidupannya ke samudera cita-cita yang ia impikan sejak kecil. Rumah setengah tembok milik mama Yuli yang telah ia tempati dua tahun belakangan ini adalah alur yang harus ia nikmati.
"Pokoknya kakak tenang saja, nanti Eta akan betah dan merasa rumah di kota layaknya rumah Sendiri. Jangan takut, soal biaya juga tidak perlu khawatir semua saya tanggung." Janji Mama Yuli pada ayah dan ibunya ketika menjemput Eta di kampung dua tahun lalu. Tak lupa ia memancarkan senyum manis tanda kepercayaan diri.Â
Waktu itu Eta baru saja tamat SMP. Di kampungnya tak ada SMA, satu-satunya SMA letaknya ada di kecamatan tetapi jaraknya belasan kilo, tak mungkin ia memilih berjalan kaki berkilo-kilo meter dari kampungnya itu. Lagi pula SMA di kecamatan tak sebagus di kota. Demikianlah ia harus pindah ke kota agar tetap bisa melanjutkan sekolah.
Namun alasan yang paling kuat adalah karena kedua orang tua Eta pun tak punya biaya untuk menyekolahkan putrinya. Untuk makan saja mereka susah! Bapak dan mama Eta hanya petani musiman. Predikat miskin telah melekat pada pundak keduanya. Tak heran nama keduanya berada pada urutan teratas daftar kartu keluarga miskin yang bukunya selalu dibawa-bawa bapak Kades kemanapun ia melangkah.Â
Bukan rahasia lagi musim semakin sulit ditebak, padahal tanam apa saja hasil panenannya selalu bergantung pada keramahan musim. Kata orang-orang pintar di televisi, ini adalah dampak perubahan iklim secara global akibat sifat rakus umat manusia yang sulit dibendung.
Ditambah lagi letak kampung mereka memang sangat jauh dari kota, semakin menyulitkan transportasi hasil panen. Hasil panen dari ladang hanya menumpuk di lumbung sendiri. Tak jarang, hasil panen itu hanya cukup untuk makan sendiri. Bahkan bagi sebagian petani miskin akan sangat merasa beruntung jika hasil panen mereka sampai dibeli tengkulak. Sayangnya, tengkulak pun hanya bisa masuk ke kampung  mereka jika oto pikap berhasil menerobos jalan yang rusak parah di lereng bukit. Jalan itu satu-satunya pintu masuk menuju kampung.
Mama Yuli masih terhitung keluarga Eta. Bapaknya adalah sepupu jauh kakek Eta. Memang sudah jadi kebiasaan di kampung, siapa pun asal masih ada hubungan, entah oleh sebab kawin-mawin atau sekedar tolong menolong sedikit saja selalu akan disebut sebagai keluarga. Orang-orang kampung senang memelihara budaya ini. Mereka menjaga kekerabatan mati-matian. Kebiasaan ini dipelihara turun temurun.