Mohon tunggu...
Yusup Dipa Kertanegara
Yusup Dipa Kertanegara Mohon Tunggu... -

antropolog

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Televisi Bheneka tunggal eka

28 Agustus 2010   18:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} @font-face {font-family:"Book Antiqua"; panose-1:2 4 6 2 5 3 5 3 3 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} h1 {mso-style-priority:99; mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-link:"Heading 1 Char"; mso-style-next:Normal; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; mso-pagination:widow-orphan; page-break-after:avoid; mso-outline-level:1; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-font-kerning:0pt; font-style:italic;} p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText {mso-style-priority:99; mso-style-unhide:no; mso-style-link:"Body Text Char"; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:6.0pt; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} span.Heading1Char {mso-style-name:"Heading 1 Char"; mso-style-priority:99; mso-style-unhide:no; mso-style-locked:yes; mso-style-link:"Heading 1"; mso-ansi-font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; font-weight:bold; font-style:italic;} span.BodyTextChar {mso-style-name:"Body Text Char"; mso-style-priority:99; mso-style-unhide:no; mso-style-locked:yes; mso-style-link:"Body Text"; mso-ansi-font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Sewaktu saya melakukan penelitian lapangan di salah satu desa di lereng Merapi Yogyakarta. Saya menyusuri bermacam-macam ruas jalan desa yang tidak jarang saya kembali lagi karena jalan tersebut buntu. Kebiasaan masuk (blusukan) ke daerah-daerah yang dianggap keramat, menyisir setiap petak sawah, perempatan jalan, dan juga ajang pergumulan orang banyak, sering saya lakukan. Ada kemenyan mengepul di ruas-ruas jalan yang sepi, kembang setaman berserakan di pojok-pojok sawah petani, beberapa garam menggaris mandala di sudut-sudut jalan yang angker. Semua itu terjadi karna sebentar lagi desa ini akan menjalankan ritual pilkades. Pengalaman blusukan seperti ini adalah pengalaman biasa bagi para antropolog, bahkan pengalaman saya ini masih tergolong amatir. Empat bulan lebih saya meninggalkan dunia perkotaan, tidak membaca Koran, menonton TV, mematikan HP. Ini semua saya lakukan untuk merasakan betul bagaimana “menjadi” masyarakat pribumi, sehingga ‘rasa’ masyarakat itu bisa saya rasakan sesempurna mungkin. Setelah dua minggu menjalani ‘ritual pertapaan’ gaya para antropolog. Saya mulai mengaktifkan HP saya kembali, dan setiap seminggu sekali saya membaca Koran daerah namun masih minus menonton TV.

Pada saat-saat seperti itu, pikiran saya melayang-layang membayangkan antropolog kawakan seperti Malinowski seorang priyayi Inggris yang meneliti penduduk Tobrian Papua Nuginei selama dua tahun. Malinowski melakukan penelitiannya pada tahun 30-an, bisa dibayangkan betapa primitifnya penduduk desa tersebut, sedangkan Malinowski seorang priyayi di negaranya. Wajar kalau Teori funsionalisme ciptaannya melegenda sekalipun sekarang mendapat kritikan yang tajam. Saya pernah mengkritik habis teori ini, namun setelah saya merasakan penelitian sendiri saya merasa malu.

Secara kebetulan, setelah beberapa hari blusukan saya menjumpai seorang tua penuh uban yang berambut gondrong namun masih enerjik, Harsono namanya. Sekalipun tema penelitian saya tidak ada sangkut pautnya dengan kegemaran Pak Har namun saya selalu memperhatikan uraian-uraiannya mengenai masalah pertelevisian dengan seksama. Sehingga saya lumayan faham tentang seluk beluk masalah TV. Kemudian hari, setelah tugas penelitian saya selesai, saya mulai tergoda kemudian saya membacai buku-buku tentang pertelevisian. Semangat saya tumbuh karna saya beranggapan media yang satu ini kini telah benar-benar merajai seluruh media masa.

Sudah tidak rahasia lagi bahwa TV adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini, sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Untuk masyarakat Indonesia, yang lebih kuat dengan budaya lisan, media televisi tidak memiliki jarak yang jauh. Menonton TV berbeda dengan budaya baca tulis, sehingga pengkonsumsian media TV lebih klop dengan budaya lisan. Eksistensi media TV jauh melampaui media-media massa lain, seperti Koran, majalah, apalagi buku. Sekalipun dari segi harga, meski tidak bisa dikatakan murah untuk sebagian masyarakat Indonesia, keinginan untuk memiliki TV saya yakin jauh lebih tinggi daripada keinganan untuk membeli buku bacaan.

Televisi pada saat ini telah menjadi media keluarga, telah menjadi salah satu prasyaratyang ‘ harus’ berada di tengah-tengah mereka. Sebuah rumah baru dikata lengkap, jika ada pesawat televise di dalamnya. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat kota saja yang relatif kaya, melainkan telah merambah ke pelosok-pelosok desa. Pendek kata, media televise telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedangkan media radio telah melampaui keemasaannya dan berubah menjadi media yang lebih personal serta spesifik.

Sebagai primadona media, televise memberikan imbas yang luar biasa besar bagi kehidupan masyarakat. Bahkan kehadirannya yang massif, dengan bau kapitalistiknya yang kental, langsung ataupun tidak langsung mempunyai pengaruh pada perilaku dan pola fikir masyarakat. Apalagi dalam deretan media informasi, media TV memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media lainnya.

Karena itu bisa dimengerti, jika tudingan banyak pihak diarahkan ke media televisi sebagai penyebab maraknya gaya hidup konsumeristik-hedonistik. Bahkan TV telah menjadi semacam ‘kiblat’ nilai-nilai kehidupan praktis seraya menggerus nilai-nilai lama sebagai keniscayaan.

Lahirnya media televisi di Indonesia, merupakan buah dari proses persetubuhan yang kurang harmonis dengan interaksi kebutuhan yang muncul dalam masyarakat Indonesia saat itu. Lahirnya Televisi Repuplik Indonesia (TVRI), lebih karena semangat megalomanian dan ekshbisionisme Soekarno, ketika Indonesia menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta. Maka, ditengah ketidakpastiannya, pada tanggal 17 Agustus 1962 mengudaralah siaran pertama TVRI, yang hanya bisa menjangkau wilayah Jakarta. Demikianlah, sebagaimana watak Soekarno yang ‘ merdeka sekarang juga’ sehingga konsep penyelenggaraan media televisi di Indonesia adalah learning by doing.

Hal ini sebenarnya tidak mengapa, namun jika kita cermati lagi dengan membandingkan pertumbuhan televisi di luar negeri, maka akan terasa ganjil dari kelahiran media televisi di Indonesia ini. Hal ini lebih disebabkan dari ketiadaannya rural television, sehingga corak (konsep) dari atas turun ke bawah atau Jakarta centris sampai sekarang masih berlaku dalam program-program televisi. Bahkan konsep ini pula dijiplak begitu saja oleh TV-TV lokal yang sekarang mulai menjamur di setiap kota-kota. Padahal, momentum era otonomi daerah adalah saat yang tepat untuk menumbuhkan rural television sehingga ‘udara’ benar-benar dikembalikan ke ranah publik sebagai pemiliknya (menjadi subjek).

TVRI yang pada awal kelahirannya secara mendadak, dalam prosesnya kemudian telah dipakai oleh pemerintah Orde Baru sebagai media pemerintah, bukan media massa (rakyat). Oleh karena itu televisi hanya dijadikan corong pemerintah pusat untuk menyampaikan hal-hal yang memang perlu untuk disampaikan kepada rakyatnya. Sehingga, steakholder media televisi saat itu hanya pemerintah saja.

Setelah bergulirnya era reformasi, perubahan dahsyat juga melanda media primadona ini. TVRI jauh ketinggalan dengan stasiun-stasiun televisi swasta lainnya. Sayembara-sayembara yang dilakukan pemerintah (wakil presiden Yusuf Kalla, kala itu) untuk menaikkan kembali pamor TVRI tidak membuahkan hasil apa-apa. Salah satu cirri dari era reformasi ini kemudian berjayanya stasiun televisi swasta. Namun, melihat kenyataan seperti ini, rakyat ternyata masih belum dianggap steakholder. Sehingga, perubahan media televisi tidak pernah (atau belum, supaya kita optimis) mengalami perubahan yang substansial-komprehensif setelah jatuhnya Orde Baru. Artinya, seharusnya steakholder media televisi, yakni 1)pemerintah, 2)pengusaha, dan 3) rakyat (pemirsa) bersatu, namun kenyataannya masih terpisah-pisah sampai sekarang. Era reformasi hanya merubah posisi steakholder dari media pemerintah menjadi media pengusaha, bukannya media massa (rakyat). Lagi-lagi rakyat (dalam bahasa TV namanya pemirsa) hanya dijadikan mangsa yang empuk tanpa memperdulikan kehendak mereka.

Bersamaan dengan munculnya gagasan tentang desentralisasi, dan kemudian munculnya UU tentang otonomi daerah, bergulir pula tentang industri televisi di tingkat lokal. Sebagaimana diisyarakatkan UU no 32/2002, televisi lokal diperbolehkan siaran dengan daya jangka siaran yang dibatasi hanya untuk daerah yang menjadi home-base-nya. Namun, dengan menjamurnya TV (yang mengaku) lokal (lebih tepatnya TV regional), ternyata hanya terpetakan dalam ranah bisnis semata.Akibatnya, konsep TV lokal tidak berbeda jauh dengan konsep TV nasional. Sehingga, rakyat (pemirsa), sebagai salah satu steakholder TV tidak pernah ‘dilibatkan’.Pemirsa TV hanya melulu dijadikan objek. Citra yang lebih menonjol kemudian adalah adanya pengeksploitasian yang tercermin dari posisi masyarakat (pemirsa) yang lebih sebagai objek, dengan menafikan peran sertanya sebagai subjek.

Pancaran TV melalui udara, makin tidak jelas cara pemetaan yang sesuai dengan batas teritorial pemerintahan. Peta udara tanpa konsep yang lebih mengutamankan kepentingan kelompok bisnis daripada kenpentingan publik sudah terjadi. Padahal, pita frekuensi sangat terbatas tidak dapat diwariskan dan didaur ulang. Siapa penanggung jawab pengelolaan udara sebagaimilik publik supaya hak publik bisa kembali ?, Hanya dengan mempertimbangkan sekian alternative-alternatif gagasan yang futuristic demi menatap masa depan berbangsa dan bernegara dalam rangka menyambut gayung era otonomi daerah sebagai keniscayaan.

Penggunaan pancaran dari udara melalui pancaran UHF (kalau dalam radio kira-kira seperti AM), telah memungkinkan TVRI mampu bersiaran dengan dana yang relatif kecil bila dibandingkan dengan menggunakan pola pancaran VHF (FM). Namun, entah mengapa, mungkin juga masalah tehnis (mesin). Pola pancaran UHF hanya dimonopoli oleh pemerintah saja, sehingga pola pancaran yang menggunakan (VHF) mengalami pembengkakan biaya, belum lagi contens (broadcast) yang memakan banyak begitu dana, akibatnnya stasiun televisi swasta diperkenankan menayangkan iklan. Dari sini kemudian terjadi persetubuhan antara TV dengan pengusaha, yang secara otomatis menggeser posisi pemerintah sebagai steakholder TV.

Lantas bagaimana dengan TV lokal, hampir bisa dipastikan semua TV lokal juga meniru gaya TV nasional ketika mereka mengudara. Padahal bargening position televisi lokal dengan televisi nasional adalah lokalitasnya. Seharusnya, TV lokal lebih menonjolkan kelokalannya (natural/deso) bukan pencitraan yang glamour. Misalnya saja, dalam sebuah kabupaten yang terdiri dari 10 kecamatan, maka TV lokal tersebut harusnya mempunya (merekrut) penduduk setempat untuk disuruh (diajari) mengisi program acara. Di mana program-program acara tersebut menampilkan peristiwa-peristiwa sehari-hari mereka. Tentu saja ada ruang hiburan, berita, pendidikan dan setrusnya, namun, loklitasnya jangan sampai hilang. Karena loklitasnya itulah yang menjadi unggulan dari TV lokal. misalnya, seorang keluarga yang menjalankan acara pernikahan, atau sepak bola, kemudian peristiwa ini direkam dan ditayangkan oleh TV lokal. orang akan lebih senang melihat dirinya senidiri, walaupun hasil kameranya jelek sekali bila dibandingkan dengan kamera standart TV nasional. Akan tetapi orang (penduduk) tersebut akan lebih suka menonton tayangan tersebut daripada menonton artis-artis yang tidak pernah mereka kenal secara langsung.

Sehingga pemirsa dengan televisi yang mereka tonton mempunyai interaksi intens. Ketercerabutan dengan nilai-nilai yang mereka anut masih bisa mereka pertahankan. Walaupun begitu, bukan berarti masyarakat tidak boleh menonton siaran televisi nasional. Hanya saja TV lokal sebgai alternative ‘hiburan lain’ untuk nguri-nguri budaya. Masyarakat tradisional (lokal) harus diikutsertakan dalam mengelola udara., tidak bisa tidak. Namun, sebagai konsekeunsinya pancaran TV lokal harus menggunakan siasat khusus, misalnya saja antenna yang mereka pakai harus beda,untuk bisa menangkap siaran TV tersebut sekaligus sebagai alat pembeda TV nasional. Sekalipun begitu, desentralisasi teknologi televisi tidak akan mungkinterjadi apabila tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah, terutama pemerintah lokal (kabupaten).

Konsep dan pola penyiaran media televisi Indonesia secara diametral sesungguhnya berlawanan dengan konsep pembangunan bangsa dan negara, yakni tidak bisa menghargai pluralitas masyarakat. Hal ini lebih dikarenakan oleh penyeragaman program tayangan televisi-televisi yang sekarang sedang mengudara. Masyarakat kemudian dieksploitasi, bukan di eksplorasi, dalam satu wajah : masyarakat tunggal. Pembuatan program-program acara televisi hanya dicondongkan pada sahwat ketamakan pengusaha. Rebutan iklan menjadi fenomena yang diwajarkan oleh insan pertelevisin. Akibatnya, sangat sulit, untuk tidak ikut pada acara yang sedang booming. Tidak ada waktu lagi untuk berfikir, begitu kira-kira semboyannya. Jika satu stasiun sukses dengan jenis tayangan tertentu, kenapa kita tidak menekannya pada acara yang sama. Kata menekan adalah pengertian yang lebih terhormat daripada mencontek atau meniru-niru. Dari berbagai sejarahnya, kita bisa melihat hal itu, mulai dari sinetron bertema etnik, komedi, misteri, berita, sampai tema religi yang fenomenal. Selagi masih diminati oleh pemirsa, program sejenis akan di geber sebegitu rupa sampai masyarakat muntah-muntah, dan mengalami apa yang dinamakan titik jenuh.

Rangkaian seperti ini mengakibatkan tayangan satu sama lain tidak jauh berbeda, sekalipun TV lokal, karna muaranya hanyalah menarik iklan sebanyak-banyaknya. Lantas pemirsa (rakyat) kemana, para pengusaha berfikir, mereka tidak akan kemana-mana. Sehingga, mata kita, telinga kita, setiap hari sebenarnya selalu ‘diperkosa’.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun