Mohon tunggu...
Triandini Aulia R
Triandini Aulia R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradigma Sosiologi

5 September 2022   19:25 Diperbarui: 18 September 2022   11:43 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Paradigma dalam sosiologi ini bagian yang sangat melekat bagi seorang sosiolog dalam melihat suatu fenomena sosial. Maka dari itu dalam tulisan ini akan menjelaskan mengenai paradigma sosiologi, tetapi sebelum itu, kita harus mengetahui pengertian dari paradigma terlebih dahulu. Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul "The Structure of Scientific Revolution" tahun 1962. Menurut Kuhn paradigma merupakan gambaran yang sangat fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan, yang akan menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh.

Paradigma merupakan unit yang terluas dari konsensus atau kesepakatan ilmu pengetahuan yang membedakan satu komunitas ilmuwan dengan ilmuwan lainnya. Misalnya istilah fakta sosial akan berbeda dalam perspektif para sosiolog dengan perspektif dari para psikolog atau ilmu-ilmu sosial lainnya. oleh karena itu paradigma sangat penting bagi satu entitas ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, oleh sebab itu perkembangan ilmu tidak benar jika dikatakan kumulatif. Hal ini didasarkan atas hasil analisisnya Kuhn sendiri terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Kemudian Kuhn menjelaskan bahwa perkembangan ilmu itu ternyata sangat berkaitan dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu atau dalam satu waktu. Di sinilah perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan menurut Kuhn yang dapat melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap satu realitas maka dengan sendirinya ilmuwan itu akan memiliki persepsi atau sudut pandang yang berbeda, maka dengan sendirinya pemahaman para ilmuwan tentang realitas itu juga akan menjadi sangat beragam. Contohnya ketika kita melihat fenomena kemacetan, dari fenomena tersebut akan memunculkan berbagai pandangan dari setiap ilmuwan dalam fenomena kemacetan tersebut. Ada yang menganggap bahwa kemacetan itu disebabkan karena meledaknya jumlah kendaraan sepeda motor yang ada sehingga kapasitas jalannya tidak mencukupi, tetapi bagi ilmuwan lain akan menganggap bahwa kemacetan itu bagian dari ketidakdisiplinan masyarakat atau mungkin ada yang menganggap bahwa kemacetan itu adalah seni kehidupan yang menganggap kemacetan itu merupakan bagian dari ujian kesabaran. Dari sinilah setiap fenomena sosial itu kemudian bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh para ilmuwan dari satu entitas ilmu pengetahuan

Perbedaan paradigma ini terjadi karena disebabkan oleh tiga faktor yaitu, yang pertama perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya. Banyak sekali aliran-aliran filsafat misalnya, ada aliran empirisme, aliran materialism, aliran behaviorisme, aliran idealism, dan aliran filsafat lainnya. Pandangan-pandangan filsafat ini tentu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya, misalnya pandangan materialisme berbeda dengan pandangan filsafat idealism. Lalu faktor yang kedua adalah konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu kemudian yang akan membuat para ilmuwan ilmuwan sosial ini juga membangun teori-teori dan juga mengembangkan teori-teori yang berbeda juga. Jadi jika aliran-aliran filsafat yang digunakan berbeda-beda, maka teori-teori yang digunakannya pun akan berbeda. Hal itulah yang membuat ilmuwan sosial yang satu dengan yang lainnya juga akan berbeda dalam menggunakan teori untuk melihat suatu fenomena. Dan faktor yang ketiga adalah metode-metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi dari suatu ilmu akan berbeda dengan komunitas ilmuwan yang lain. Dengan adanya perbedaan paradigma tidak selalu bersifat negatif tetapi juga bisa positif. Karena dari situlah ilmu pengetahuan terus berkembang, sebab dengan adanya perbedaan paradigma yang membuat keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan semakin kaya dan semakin terus berkembang. Dengan adanya relasi perbedaan paradigma dengan keragaman konseptual dan teori yang dihasilkan ini menandakan adanya dinamika atau gerak dialektika ilmu pengetahuan, yang menurut Albert Einstein ilmu pengetahuan itu merupakan hal yang paling berguna yang dimiliki manusia. Untuk itu ilmu pengetahuan terus berkembang seiring peradaban manusia jadi satu ilmu pengetahuan bersifat statis, karena kebutuhan kehidupan manusia berkembang maka ilmu pengetahuan wajib terus berkembang. Salah satu fondasi dasar ilmu bisa berkembang adalah adanya dialektika. dialektika dari ilmu pengetahuan didasari dari perbedaan paradigma yang kemudian perbedaan paradigma itu khususnya terjadi juga dalam sosiologi.

Sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma atau paradigma ganda ya setiap paradigma ini memiliki objek kajian, teori, metode, dan analisa yang berbeda meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi. Menurut Ritzer secara garis besar ia menyatakan bahwa ada ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi. Yang pertama adalah paradigma fakta sosial. Salah satu tokoh dalam paradigma fakta sosial yang memberikan sumbangsi dari pemikirannya adalah Emile Durkheim. Paradigma fakta sosial ini dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesisnya August Comte dan Herbert Spencer. Durkheim menolak tegas pendapat yang dikemukakan oleh Comte dan Spencer yang menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa dasar sosiologi adalah filsafat. Durkheim mengemukakan bahwa sosiologi harus berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Dari sinilah yang kemudian akhirnya membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara objek kajian sosiologi dengan filsafat. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat istiadat dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Dengan kata lain para teoritisi yang menganut paradigma fakta sosial akan memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, yang mana fakta sosial tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata atau materi melainkan fakta sosial juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Fakta sosial material yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami dilihat dan diamati dan di mana inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada di dunia nyata dan bukan sesuatu yang imajinatif, misalnya bentuk bangunan, hukum, peraturan, dan perundang-undangan. Lalu fakta sosial yang kedua adalah fakta sosial nonmaterial yang sebenarnya dapat dikatakan ini suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri manusia itu sendiri dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia, misalnya moralitas, kesadaran, egoism, dan opini. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial antara lain teori fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori makro. Namun yang biasanya digunakan oleh para penganut fakta sosial yaitu teori fungsionalisme struktural dan teori konflik. Teori fungsionalisme struktural lahir berkat sumbangan pemikiran Auguste Comte, yang di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis, maksudnya masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung untuk bertahan hidup. Sedangkan menurut durkheim masyarakat merupakan kesatuan yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing dan saling menyatu dalam keseimbangan. Teori ini lebih menekankan social order dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi yang statis dan seimbang. Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan sosial karena terlalu menekankan order. Selanjutnya adalah teori konflik. Teori ini lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme struktural yang menghindari konflik. Teori ini dikembangkan oleh Karl Marx. Jika teori fungsionalisme struktural itu memandang keteraturan terjadi karena masyarakat yang terikat secara informal maka teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa. Konsep utama teori konflik yaitu adanya dominasi, paksaan, dan kekuasaan Adapun kelemahan dari teori ini adalah menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik. Kemudian untuk metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial yaitu biasanya interview dan kuesioner.

Paradigma yang kedua adalah definisi sosial, yang dilandasi oleh pemikiran Max Weber. Weber melihat antara struktur sosial dan institusi sosial ini saling satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Weber mengemukakan sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial, untuk itulah paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretative. Teori pendukung paradigma definisi sosial, yang pertama adalah teori aksi berawal berdasarkan pemikiran Weber, individu melakukan tindakan berdasarkan atas pengalaman persepsi pemahaman dan atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan sosial dipicu karena adanya interaksi sosial antara individu satu dengan individu yang lain, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tertentu. Jadi setiap kita melakukan tindakan tertentu itu artinya kita memiliki motif dengan konsep rasionalitas. Tindakan sosial ini terbagi menjadi empat macam. Yang pertama ada tindakan rasionalitas instrumental yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan, jadi bila individu tersebut bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Tindakan yang kedua adalah rasionalitas yang berorientasi nilai yaitu tindakan yang didasari oleh keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting misalnya seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya, tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan yang pertama sehingga tindakannya masih dapat dipahami. Kemudian tindakan yang ketiga adalah tindakan afektif yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang dilakukannya, tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimiliki dan timbul secara spontan, ketika mengalami suatu kejadian tindakan ini sukar untuk dipahami karena kurang rasoinal. Kemudian tindakan yang keempat yaitu tindakan tradisional yaitu tindakan-tindakan yang tidak logis dan Tindakan ini sifatnya tradisional, tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini sukar dipahami karena kadang kurang rasional bahkan tidak rasional sama sekali, misalnya di Bali, dimana beberapa depan rumah warga Bali ditaruh sesajen, masyarakat Bali meyakini bahwa ada roh atau nenek moyang yang nanti datang untuk singgah di rumah kalian yang kemudian harus diberikan suguhan yaitu berupa sesajen, yang dimaksudkan agar para roh itu nanti jadi Bahagia. Tindakan tersebut sifatnya tradisi, atau kepercayaan yang sifatnya tidak logis dan termasuk dari tindakan tradisional.

Selanjutnya adalah teori interaksi simbolik, teori ini dikembangkan di Universitas Chicago. Disinilah teori ini kemudian berkembang dengan pesat, sehingga Universitas Chicago mendapatkan apresiasi yang sangat baik dan dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembang teori interaksi simbolik, oleh karena itulah penganut teori interaksi simbolik ini disebut juga dengan aliran chicago. Ada beberapa prinsip dasar dari teori interaksi simbolik yakni, yang pertama manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir, dan kemampuan berpikir manusia itu terus berkembang. Lalu yang kedua kemampuan berpikir ini kemudian akan dibentuk melalui interaksi sosial. Jadi semakin banyak orang berinteraksi sosial, maka kemampuan berpikirnya pun terus berkembang. Oleh karena itulah pada saat masih zaman SD SMP SMA sampai kuliah tentu kemampuan berpikir kita sudah berbeda dan sudah mulai berkembang. Kemudian prinsip yang ketiga adalah semakin seorang individu berinteraksi individu tersebut akan mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikirnya. Selanjutnya yang keempat adalah setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan. Jadi ketika seorang individu tahu tentang satu makna dari suatu simbol, hal ini bisa seorang individu memodifikasi berdasarkan situasi yang ada. Dan prinsip yang kelima adalah setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan, karena seorang individu juga bisa melakukan tindakan yang didasarkan pada tafsir situasi dan kondisi sosial tertentu yang membuat individu tersebut memilih posisi aman. Kemudian prinsip dasar yang berikutnya dari interaksi ini adalah seorang individu menciptakan kelompok sosial tertentu yang didasarkan pada makna dan simbol yang sudah individu tersebut konstruksi. Adapun kelemahan dari teori interaksi simbolik di sini yaitu mengabaikan pembahasan pada struktur sosial yang sangat makro seperti nilai, norma, sosial, hukum, serta institusi sosial, lalu terlalu fokus pada pembahasan interaksi sosial mikro yakni hubungan antar individu.

Teori lainnya adalah teori fenomenologi, teori ini memandang bahwa manusia menjadi hubungan sosial jika manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya dan manusia lain memahami tindakan tersebut sebagai sesuatu yang penuh arti. Dan bahwasanya manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya sendiri. Teori ini muncul sebagai reaksi atau tanggapan yang memandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan-kekuatan sosial yang mengitarinya. Kemudian teori lainnya lagi adalah teori etnometodologi. Sebenarnya teori ini merupakan cabang dari fenomenologi, yang mengungkap realita kehidupan dari individu atau masyarakat.

Kemudian pendukung teori paradigma definisi sosial lainnya adalah teori etnometodologi. Teori ini sebenarnya cabang dari fenomenologi, yang mengungkapkan realita kehidupan dari individu atau masyarakat. Lebih lanjut teori etnometodologi yakni teori yang mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun implisit. Di dalam penelitian etnometodologi disebut dengan proses komunikasi yang menuju saling memahami di antara para pelaku komunikasi, contoh kasus yang paling nyata adalah istilah tabayyun. Selanjutnya untuk metode yang digunakan para penganut paradigma ini cenderung ke arah metode observasi atau pengamatan.

Kemudian paradigma yang ketiga adalah paradigma perilaku sosial, perilaku sosial memusatkan perhatian pada hubungan antara individu dan juga hubungan individu dengan lingkungannya paradigma ini menyatakan bahwa objek studi Sosiologi yang konkrit dan realistis adalah perilaku manusia atau individu yang nampak dan kemungkinan perulangannya. Jadi menurut paradigma ini seseorang mempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Kalau tadi paradigma fakta sosial itu antara struktur sosial atau institusi sosial itu mempengaruhi perilaku individu atau masyarakat. Lalu paradigma definisi sosial antara struktur sosial dan institusi sosial sama-sama saling mempengaruhi perilaku sosial dari individu dan masyarakat. paradigma perilaku sosial kebalikannya, yakni seorang individu dan masyarakat yang mempengaruhi atau merubah struktur sosial dan institusi sosial oleh karena itulah tingkah laku manusia menurut paradigma ini dia lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma dan nilai sosialnya.

Apa yang menjadi objek dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial dari seperti struktur dan fungsi sosial adalah suatu yang bersifat mistik atau objek yang terjadi dalam pemikiran manusia. Sedangkan menurut Skinner, ia dengan tegas menolak dua objek kedua paradigma ini tidak bisa jadi bahan kajian dari sosiologi. Karena bagi Skinner objek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari objek studi yang sebenarnya yaitu yang bersifat konkret dan realistis. Ia mengklaim bahwa objek perilaku manusia adalah objek yang konkrit dan realistis yang tergabung dalam paradigma perilaku sosial antara lain adalah teori behaviorisme dan teori pertukaran. Teori behaviorisme merupakan implementasi dari perpaduan objek kajian sosiologi perilaku ke dalam sosiologi. Manusia di dalam masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari dibentuk sendiri. jadi kaidah-kaidah tentang hakikat manusia secara individu itu dibentuk oleh dirinya sendiri. Metode yang digunakan dalam paradigma perilaku sosial yaitu menggunakan interview dan observasi, tapi prakteknya para penganut paradigma ini biasanya menggunakan eksperimen untuk penelitiannya ini kan paradigma perilaku sosial jadi perlu dengan variabel pada penelitian ini lebih ke individual.

Dan juga sebenarnya terdapat satu paradigma lagi yakni paradigma integratif yakni bahwasannya semua paradigma itu pada hakikatnyanya punya nilai positif dan negatif namun ritzer, ia menawarkan supaya tidak jadi perdebatan maka gunakanlah paradigma integratif jadi tidak hanya pada satu paradigma saja tetapi para sosiolog bisa menggunakan dua atau lebih di antara paradigma itu jadi tidak hanya menganut salah satunya saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun