"Saya adalah satu-satunya penganut Katolik di tengah-tengah saudari-saudari muslimat NU, apakah saya diterima disini?", "Diterima!".Â
"Saya adalah satu-satunya orang Dayak di tengah-tengah saudari-saudara suku Madura dan Jawa, apakah saya diterima disini?", "Diterima, ini Indonesia!".
"Diterima", begitulah ramainya pekik warga lokal peserta kegiatan mewarnai pengalaman pribadi yang sangat mengharukan ketika saya berkesempatan diundang sebagai trainer ekowisata di wilayah Tampora-Paiton, perbatasan Situbondo & Probolinggo, Jawa Timur, medio 2017 silam. Peristiwa perkenalan diri dengan cara unik ini membangun kecintaan mendalam bagi saya sebagai orang Indonesia akan identitas nasional dan persatuan.
Kehadiran saya dan beberapa rekan ecotourism trainer disitu adalah untuk menjalankan program Community Based Tourism (CBT) Training yang menjadi bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) dari salah satu perusahaan energi listrik terbesar di Indonesia di wilayah tersebut.
Dobel Minoritas
Pertanyaan yang saya ajukan di atas saya anggap sangat penting karena kala itu masih maraknya polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat peristiwa-peristiwa politik skala nasional maupun daerah yang menimbulkan banyak friksi di berbagai tingkatan.Â
Intoleransi mencuat tidak hanya sekadar isu, namun direfleksikan dengan banyaknya kejadian buruk yang dipicu pemahaman radikal bercampur kepentingan elit tertentu di berbagai daerah di Indonesia.
Provinsi Jawa Timur dan daerah 'Tapal Kuda'-nya (Jember, Probolinggo, Situbondo, Pasuruan, Bondowoso, Lumajang, Banyuwangi) dikenal sebagai salah satu basis terbesar kaum Nahdliyin dengan populasi mayoritas suku Madura Pandalungan, suku Madura, dan suku Jawa.
Keberadaaan saya, terlepas dari identitas profesional yang saya bawa, sebagai pribadi adalah seorang penganut Katolik yang berasal dari etnis Dayak. Di daerah tersebut saya notabene 'minoritas' dalam arti ganda, secara agama dan asal suku.
Namun demikian, saya juga mengerti dan mengetahui bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Nusantara dikenal sebagai garda terdepan penjaga pluralitas kebangsaan. Karenanya pertanyaan yang saya lempar secara berani tersebut tak lain adalah bentuk afirmasi bahwa toleransi dan kebhinnekaan adalah prinsip fundamental yang berlaku di setiap jengkal bumi NKRI, serta dijunjung tinggi oleh warga NU.
Hasilnya, sambutan hangat saudari-saudara di tempat tersebut menerima kehadiran saya dalam misi berbagi pengalaman dan pengetahuan pariwisata bersama mereka telah menyentuh relung hati saya yang terdalam. Saya tidak merasakan diskriminasi apapun sebagai minoritas. "Beginilah seharusnya Indonesia."
Harmoni Dalam Keberagaman
Kesempatan bersama selama 5 hari dengan para peserta pelatihan membawa saya merasakan dimensi baru tentang beragamnya kultur masyarakat Indonesia. Selain berbagi materi tentang ekowisata, mengunjungi potensi-potensi daya tarik wisata yang ada di area tersebut, saya juga diajak untuk berziarah ke salah satu situs religi umat Islam yang ada, Petilasan Syeikh Maulana Ishak di Bukit Tampora.
Syeikh Maulana Ishak pada masa lampau adalah salah seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara khususnya daerah timur pulau Jawa. Secara turun-temurun situs tersebut dirawat dan dijaga keberadaannya oleh masyarakat lokal, dan banyak dikunjungi oleh wisatawan untuk tujuan ziarah.
Puncaknya, saya diundang berhadir dalam kegiatan Sholawat Nariyah "Terak Mancorong" yang umumnya diadakan tiap malam tanggal 15 bulan Hijriyah dan mengambil lokasi di tepi pantai Tampora, Situbondo.
Terak Mancorong berarti "Terang Bulan Purnama" dalam bahasa Madura, kegiatan yang esensinya menjadi ungkapan rasa syukur warga atas anugerah alam dan dituangkan dalam ritual pengajian dan pembacaan Sholawat. Prosesi ini dipimpin Kyai dari Pondok Pesantren di Situbondo, dan rutin dihadiri ribuan warga tidak hanya dari wilayah Situbondo saja, namun dari daerah-daerah lain di sekitarnya. Sangat meriah.
Saya yang berbeda dalam keyakinan, sangat terhormat bisa menghadiri kegiatan tersebut dan merasakan antusiasme sambutan warga Nahdliyin dalam balutan nuansa keagamaan. Penganut Islam aliran Nahdlatul Ulama umumnya dikenal dekat dengan menghormati tradisi dan kearifan lokal, salah satu warisan penyebaran Islam asimilatif yang diturunkan para Wali di tanah Jawa sejak zaman dahulu.
Selamat memperingati satu abad Nahdlatul Ulama, terimakasih saudara-saudariku bagian dari warga Nahdliyin yang telah memberikan pengalaman berharga tentang menghormati keberagaman dan mencintai kebhinekaan, terimakasih telah menjadi garda terdepan penjaga kesatuan Indonesia.
Salam,
-MJ-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H