Kita saat ini selalu disuguhi begitu banyak informasi dalam waktu yang singkat sementara kondisi kejiwaan dan akal (pengetahuan) kita terkadang tidak sanggup mengimbanginya. Maksudnya, semangat mengumpulkan informasi cenderung tinggi tetapi tidak bersungguh-sungguh mengeksekusinya menjadi pemahaman yang kompleks. Jika dipolakan saat ini kita sedang diselimuti penyakit konsumtif informasi, yakni selalu ingin mendapatkan informasi secara instan. Seseorang yang berperilaku seperti ini secara otomatis akan kurang bersungguh-sungguh untuk memaknai dan mempelajari sesuatu. Inilah salah satu cikal bakal mengapa kita mulai kehilangan hikmah dan pemahaman dalam hal pengetahuan. Diera teknologi media sosial saat ini, kita cenderung serius terhadap informasi berbasis digital daripada berdiskusi dan bereksplorasi mematangkan pemahaman.
Kemajuan pendidikan kita dalam hal "memahami informasi" masih sangat rendah. Gaya eksekusi kita masih pada tahap mengomentari atau "share" semata, belum kejenjang mengkaji dan memahami. Yang sangat disayangkan lagi adalah informasi yang belum ditangkap secara matang kemudian diperdebatkan. Hal ini salah satunya ditandai oleh cepatnya sebuah berita di share dan diimbuhi komentar secara instan. Hal ini jika disinggung dari segi pendidikan dperguruan tinggi maka menunjukkan betapa masih miskinnya kita dari sisi metode penelitian.
Solusi untuk penyakit konsumtif informasi
Agar peserta didik tidak hanya berputar-putar diwilayah informasi Perlu adanya strategi oleh pendidik yakni pola pembelajaran yang mengarah kepada pemahaman. Dalam belajar, peserta didik tidak terlepas dari mendapat informasi terlebih dahulu lalu mereka akan mencoba memahami dan kemudian menerapan. Hal ini terdapat dalam pembahasan seorang akademisi dibidang tafsir yaitu Nouman Ali Khan, Menurut Beliau tahapan yang baik dalam pendidikan adalah Informasi, Pemahaman dan Aplikasi. Dari sini dapat kita amati bahwa masalah kita terletak pada terfokusnya pada informasi yang begitu banyak tetapi belum disertai dengan pemahaman atau tepatnya pengabaian "Component of Understanding". saat ini kita masih belum mampu mengikutinya secara teratur. Tentu ini adalah tantangan besar bagi pendidik yang berjiwa tarbiyah di perguruan tinggi serta di sekolah-sekolah. Hal ini menarik perhatian kita untuk mendiskusikan materi pelajaran karena materi adalah informasi bagi peserta didik, dimana harus dikonversi sebagai upaya membimbing siswa mendapatkan pemahaman yang baik. Terkait materi pendidikan, Dr. Joni MN Linguis asal Gayo menjelaskan "merumuskan materi pendidikan harus berisi bahan-bahan yang dapat menumbuhkan, mengarahkan, membina, mendidik, dan mengembangkan potensi-potensi rohaniah dan jasmaniah tersebut secara seimbang". Menela'ah rumusan materi yang tersebut diatas dalam kaitannya dengan masalah yang sedang kita hadapi, maka saya mendapati poin yakni pendidik bertanggung jawab dalam hal kontekstualisasi informasi. Kontekstualisasi informasi adalah upaya menumbuhkan respon kejiwaan peserta didik dalam belajar dan memberi ruang kepada pendidik untuk menampakkan pesan-pesan agama dan nilai budaya didalam materi tersebut. Mudah-mudahan upaya ini dapat mengurangi penyakit konsumtif informasi yang ada pada saat ini dan dimasa yang akan datang.
Etika Berbagi Informasi
Perlu kita perjelas, bahwa berbagi informasi adalah baik, yang membuatnya tidak baik adalah maraknya informan yang tidak bertanggung jawab. Menurut saya, Jenis informasi yang paling mendatangkan manfaat dan yang paling diharapkan masyarakat adalah yang bernilai edukasi. Semua orang ingin menjadi lebih baik, oleh sebab itu prioritaskanlah informasi yang berisi pendidikan. Jadilah informan yang bertanggung jawab dengan demikian kita akan beretika. pencari informasi umumnya adalah orang-orang yang berkeinginan menambah wawasan, oleh sebab itu pastikanlah informasi kita berisi nilai-nilai pendidikan, tidak sekedar berisi nilai estetika dan kehebohan semata.
Agar informasi yang ingin dibagikan bermanfaat bagi diri dan orang lain, Sebaiknya pilihlah informasi yang kita sendiri sudah memahami dari sisi keilmuan dan secara pengetahuan. misalnya, informasi itu terkait pekerjaan kita yang sudah lama kita tekuni, atau informasi itu adalah jurusan kita sewaktu kuliah dan lain-lain. Dengan demikian apabila ada yang merespon, mengkritik dan bertanya tentang informasi tersebut kita dapat mempertanggungjawabkannya dan kita tidak mengarang, beretorika, marah dan lain-lain.
Sebaiknya kita tidak menginformasikan sesuatu yang kita sendiri masih kebingungan, jangan jadikan kebingunan kita menjadi kebingunan orang lain. Hindarilah kebiasaan ikut-ikutan dalam memberi informasi. Kalau semua hanya berbagi lalu siapa yang memahami isi informasinya.
Menginformasikan suatu kejadian dengan seketika tanpa selang waktu yang cukup adalah sifat yang kurang bijak. Jika mendapatkan informasi terbaru berisi perkelahian, pencurian, penistaan, kekerasan, dan sejenisnya yang sifatnya wilayah hukum  maka sebaiknya diilmui saja dan tidak membagikanya selama seminggu atau lebih. Sangat kurang adil dimana seseorang mampu memahami hakikat berita hanya dalam tempo lima menit, seminggu saja belum tentu kita mampu memahami hakikat suatu berita apalagi hanya dengan lima menit sambil mengelus gadget. Adapun untuk kejadian yang sifatnya sesegera mungkin orang harus mengetahui dan mendatangkan manfaat tidak ada salahnya menginformasikanya seperti banjir, kebakaran, kemacetan, orang yang membutuhkan donor darah dan sejenisnya.
 "Agar sisa umur ini bermanfaat hiduplah dengan pemahaman, bukan dengan informasi semata"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H