Mohon tunggu...
Rustan Ambo Asse
Rustan Ambo Asse Mohon Tunggu... dentist -

Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin makassar, sekarang berdomisili Berau Kaltim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tulisan Bagus Datu Kesuma

11 Desember 2014   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:32 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Edisi 9 Desember 2015, Berau post memuat sebuah catatan yang berjudul " Bu susi dan Manusia Perahu" . Tulisan karya pak Datu Kesuma itu bagi saya tulisan reflektif, di sana ada renungan panjang secara deskreptif membahas tentang relasi kekuasaan dan nurani anak manusia.
Untungnya, pemerintah Kab. Berau memiliki " sense of crisis" terhadap permasalahan manusia perahu. Jika benar adanya manusia perahu tersebut adalah sekelompok manusia yang tak memiliki kewarnegaraan tertentu atau "orang-orang terasing" tentu saja akan menyisakan sebuah problem hukum yang perlu solusi bijak, dan melibatkan lintas negara tentangga.
Saya bersepakat, bahwa langkah Bupati Berau dalam memberikan empati dan bantuan kepada ratusan manusia perahu tersebut merupakan bagian dari identitas keluhuran budi manusia, sekaligus watak budaya Indonesia terhadap eksistensi manusia lain, dalam konteks ini maka dengan demikian kita telah menampilkan cara terbaik penerapan aturan hukum, hukum yang tentu saja memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya.
Dalam kaitanya dengan kebijakan menteri perikanan dan kelautan , untuk meledakkan setiap kapal nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, saya teringat kembali sekelumit kisah dari para nelayan kepulauan aru maluku. Dulu, ketika pada tahun 2008 saya ditempatkan sebagai dokter gigi PTT di pulau mesiang dekat dengan perbatasan Australia.
Di pulau mesiang kepulauan Aru, tak ada orang dewasa laki-laki yang tak pernah tertangkap di perairan Australia. seorang nelayan aru pernah bertutur, bahwa ikan-ikan hiu di peraiaran Indonesia sudah hampir punah karena habis terbantai oleh nelayan Aru yang kerap mencari sirip ikan hiu, atau ikan-ikan hiu itu bermigrasi ke perairan Australia karena merasa terancam. Dan di Australia Ikan Hiu adalah ikan yang sangat di lindungi.
Nelayan-nelayan itu ketika tertangkap tak ada yang membawa identitas atau KTP, bahkan nama merekapun kerap diganti dengan nama yang baru, itulah sebabnya ketika mereka dikembalikan ke Indonesia kerap mereka kembali dengan nama yang baru.
Bagi Nelayan Aru yang tertangkap di Australia, konon perahu yang mereka pakaipun akan di hancurkan atau di bom dari atas dengan memakai Helikopter. Di sisi lain para Nelayan yang tertangkap tidak mengalami perlakuan represif, mereka bahkan hidup dalam penjara yang dijamin makanan yang lezat-lezat tiga kali sehari, bahkan untuk saat-saat tertentu mereka akan di bawa rekreasi dengan berkeliling kota Darwin.
Bahkan, suatu ketika saya takjub, seorang nelayan pulau mesiang mantan narapidana illegal Fishing datang ke puskesmas, memperlihatkan rekam medik perawatan penyakit TBC yang telah dirawat ketika dalam penjara di Australia.
Oleh karena itu, ketegasan dan Visi pemerintah Indonesia dalam menerapkan pemberantasan illegal fishing nelayan asing di perairan Indonesia adalah sebuah langkah yang tepat, tentu saja kajian holistiknya bahwa selain memberikan ketegasan eksternal diperlukan upaya edukasi dan ketegasan internal, karena tidak menutup kemungkinan nelayan-nelayan Indonesia seperti fenomena di Kepulauan Aru tersebut masih terjadi terutama di kepulauan lintas batas negara tetangga.
Di balik beragamnya kisah manusia perahu yang kerap mencari kehidupan di perairan kepulauan derawan, tanjung batu, batu putih, dan talisayan tentu saja dibutuhkan investigasi mendetail tentang berbagai macam kabar yang beredar, terutama perihal terlibatnya manusia perahu sebagai bagian dari pelaku illegal fishing.
Tulisan Datu Kesuma yang memaparkan secara holistik kondisi kekinian manusia perahu dengan kaitanya dengan " keragu-raguan" bu susi menghancurkan perahu mereka adalah sebuah pertanda bahwa konteks penyelesaian masalah khususnya manusia perahu mesti dianggap tidak hanya problem hukum an sich, akan tetapi menjadi problematika sosial, setidaknya membutuhkan aspek kajian tentang sejarah manusia perahu, sebagaimana kita semua memahami bahwa manusia perahu memiliki kehidupan dominan di laut, laut adalah rumah mereka.
bagi manusia perahu, hidup di darat membuatnya pusing atau dengan kata lain" mabuk darat" . Konon beberapa manusia perahu yang pernah berobat di puskesmas batu putih kerap mengeluh jika harus dirawat inap, alasanya mereka tak kuat hidup di darat. Bagi manusia perahu, daratan adalah laut bagi kebanyakan manusia modern.
Manusia perahu boleh jadi adalah manusia terasing, manusia yang terhempas dari arus peradaban manusia modern, manusia yang sejatinya membutuhkan pencerahan nilai-nilai agama, budaya dan interaksi sosial. Mungkin saja ini semua adalah panggilan bagi kita semua, bahwa seperti apa ilmu pengetahuan dan nurani kolektif kita bersikap terhadap mereka.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa sebuah tulisan tentu saja lahir dari hasil perenungan penulisnya, di sana ada gerak dialektis antara respon idealitas, nurani dan pilihan pendapat kita terhadap sesuatu. Tulisan yang baik tentu ibarat cahaya pengetahuan bagi yang lain, seperti Tulisan Datu Kesuma tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun