Mohon tunggu...
Damaris Agatha
Damaris Agatha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi S1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Memori Kolektif dan Indentitas Lokal: Jalan Panjang Menuju Asa

2 Desember 2024   23:27 Diperbarui: 3 Desember 2024   09:35 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Calon Tenanga Medis (Sumber : Instagram.com)

Duduk di bangku kecil di sudut dapur, aku menatap ibu yang sibuk mengolah adonan kue. Bau wangi gula dan pandan menguar, membangkitkan kenangan masa kecil di Watugolong, kampung kecilku yang sarat cerita. Setiap pagi, aku menemani ibu belanja ke pasar tradisional. Suara pedagang yang saling bercanda, aroma rempah dari lapak bumbu, hingga senyum ramah tetangga menjadi pemandangan yang tak pernah berubah. Sepulang dari pasar, aku berlarian bersama teman-teman, bermain permainan tradisional seperti gobak sodor dan engklek di tanah lapang.

Ada satu tradisi kecil di keluarga kami yang selalu aku ingat. Setiap ulang tahunku, ibu selalu memastikan aku merasakan momen istimewa itu di awal hari. Meski hanya dengan kue sederhana dan doa tulus, tradisi itu menjadi simbol cinta dan dukungan yang tak tergantikan. Saat ini, kenangan itu menjadi pengingat akan hangatnya kebersamaan di masa kecil, sesuatu yang perlahan memudar di tengah kehidupan modern yang serba cepat. Namun, hidup tidak selalu tentang kenangan manis. Ada masa ketika aku merasa hampir menyerah. Saat itu, aku menghadapi kegagalan dengan tekanan yang begitu besar. Kegagalan itu membuatku merasa jatuh ke jurang yang dalam. Tetapi ibu memelukku erat dan berbisik, "Tidak apa-apa. Kamu punya kesempatan untuk mencoba lagi. Kita ada di sini bersamamu." Kalimat itu menjadi jangkar yang menahan aku tetap berdiri.

Saat aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren, hidupku berubah drastis. Lingkungan yang disiplin dan nilai-nilai yang diajarkan di pesantren menjadi titik balik dalam perjalanan hidupku. Sebelumnya, aku adalah remaja yang sering ragu dan mudah menyerah. Di pondok, aku belajar mengendalikan diri, mengatur waktu, dan menerima tantangan sebagai bagian dari proses menuju kedewasaan.

Kini, aku berdiri di ambang mimpi menjadi calon tenaga medis dan menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jalan ini tidak mudah; aku sering jatuh bangun, menghadapi kegagalan, bahkan keraguan diri. Tetapi setiap kali aku merasa lelah, aku teringat pada ibu di dapur kecil itu, yang dengan sabar dan cinta membangun keluarganya dari kesederhanaan. Aku juga teringat hari-hari di pesantren, di mana aku diajarkan untuk tidak hanya bekerja keras, tetapi juga bergantung kepada Yang Maha Kuasa.

Aku menyadari, perjuanganku bukan hanya tentang diriku sendiri. Ini tentang membawa semangat dari tempat aku berasal, dari Watugolong dengan segala kesederhanaannya, dari ibu yang tak pernah lelah mendukung, dan dari pesantren yang mengasah tekadku. Hidup adalah perjalanan panjang, dan setiap langkah kecil adalah cara kita melestarikan kenangan masa lalu sambil merangkul masa depan.

Mungkin, pada akhirnya, aku tidak hanya ingin menjadi tenaga medis. Aku ingin menjadi seseorang yang membawa harapan, sebagaimana aku pernah mendapatkan harapan itu dari keluarga, pesantren, dan kampung halamanku. Identitas lokal bukan sekadar tradisi, melainkan akar yang menguatkan kita untuk terus bertumbuh dan berjuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun