Indonesia dikenal di negara luar sebagai negara agraris. Negara agraris itu sendiri merupakan negara yang mengandalkan sektor pertaniannya sebagai penopang pembangunan negaranya sendiri. Indonesia juga dikenal sebagai negara rempah yang merupakan alasan utama negara Belanda berkunjung ke Indonesia. Julukan ini sendiri tentu saja diberikan karena kondisi nyatanya memang seperti itu. Kita pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Indonesia juga pernah mencapai swasembada cengkih pada tahun selanjutnya, yaitu 1985. Kedua swasembada ini dicapai pada pemerintahan pak Soeharto. Namun, bagaimanakah kondisi sekarang? Apakah kita sudah tidak berada di titik swasembada itu? Jika tidak, apakah kita masih dapat mencapai gelora seperti masa tersebut?
Penduduk Indonesia, sebanyak 95%, mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Penduduk Indonesia pada tahun 1984 mencapai 164 juta jiwa dan pada pertengahan tahun 2022 mencapai 275 juta jiwa (BPS, 2022). Seiring bertambahnya penduduk, kebutuhan beras juga akan naik. Oleh karena itu, muncul sebuah pertanyaan. Apakah Indonesia masih swasembada beras, terutama pada lima tahun terakhir ini?
Sebelum kita pergi ke jawabannya, dunia terkena ancaman virus yang mematikan, yaitu COVID-19. Perekonomian mengalami pergejolakan, namun untuk sektor pertanian Indonesia sendiri, terutama beras mengalami surplus dan tidak impor pada tahun 2019 sampai tahun 2022 untuk kategori beras umum. Berdasarkan pengertian swasembada itu sendiri, Indonesia memang mencapai swasembada beras di tahun tersebut. Jika data-data yang disajikan tersebut memang kredibel, maka untuk komoditas beras, Indonesia telah menjadi tuan di negara sendiri.
Lalu, bagaimana dengan cengkih? Apakah Indonesia tetap swasembada? Komoditas ini berbeda dengan beras, yang mana cengkih sendiri bukan untuk kebutuhan sehari-hari, namun cengkih Indonesia tidak berada di titik swasembada lagi. Indonesia tetap melakukan ekspor cengkih, namun Indonesia juga melakukan impor cengkih. Terjadi sebuah kontradiksi untuk komoditas cengkih Indonesia. Negara produsen cengkih terbesar di dunia, namun melakukan impor juga. Peristiwa anehnya lagi, Indonesia juga mengimpor cengkih dari negara Singapura pada tahun 2020 sebanyak 116 ton, yang mana negaranya tidak memiliki areal perkebunan cengkih. Salah satu negara tujuan ekspor cengkih Indonesia adalah negara Singapura. Peristiwa ini membuat kita berpikir, apakah Indonesia mengimpor cengkih yang sudah diekspornya ke Singapura?
Selain peristiwa aneh itu, ada beberapa justifikasi mengapa Indonesia harus melakukan impor cengkih. Salah satu faktornya adalah permintaan industri rokok kretek yang tinggi dan konsisten yaitu menyerap 95% dari supply cengkih domestik. Indonesia juga merupakan negara perokok terbesar ketujuh. Produksi rokok di Indonesia pada Maret 2021 juga mengalami kenaikan dari Februari 2021 yang mencapai 83 miliar batang pada periode Januari-Maret 2021 (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2021). Permintaan yang besar dan konsisten ini diiringi dengan panen cengkih yang cukup rentan dengan kondisi cuaca buruk membuat peristiwa impor cengkih ini terjadi.
Untuk cengkih Indonesia sendiri, masih belum dapat disimpulkan. Indonesia merupakan produsen cengkih terbesar di dunia dan pengekspor cengkih kedua terbesar di dunia setelah Madagaskar, namun Indonesia juga mengimpor cengkih. Jika kita memahami pengertian swasembada dari FAO, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan nasionalnya. Untuk cengkih Indonesia sendiri, kita belum dapat mengatakan Indonesia mencapai swasembada cengkih jika Indonesia masih mengimpor cengkih untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H