Mohon tunggu...
Kuncoro Adi
Kuncoro Adi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di semarang, tinggal di Jakarta. Penulis, editor buku dan pembicara publik. Tulisan tentang kerohanian, bisa di akses di blog pribadi http://kuncoroadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pdt.Jacob Nahuway Menggiring Organisasi Gereja ke Politik Praktis

12 Juni 2014   17:15 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:04 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14025427641286404383

Jacob Nahuway (selanjutnya disingkat JN) adalah gembala jemaat di Gereja Bethel Indonesia (GBI). Selain itu beliau juga adalah seorang pengkhotbah yang cukup terkenal di kalangan gereja-gereja beraliran Pentakosta/Karismatik. Sejak tahun 2004 selama 2 periode ( 1 periode 4 tahun) JN “naik kelas” terpilih sebagai Ketua umum Sinode Gereja Bethel Indonesia. Namun menjelang turun tahta di tahun 2012, JN dan pengikutnya membuat sebuah “manuver politik” untuk melanggengkan kekuasaannya agar terus menjadi ketua umum GBI meskipun tata gereja GBI sebenarnya membatasi masa tugas seorang ketua umum hanya sampai 2 periode (itu berarti beliau hanya boleh menjabat sampai tahun 2012). Intrik dan manuver perebutan kekuasaan pun memanas di kalangan GBI kala itu. Perpecahan hampir tak terelakkan akibat kengototan kelompok JN untuk terus berkuasa. Jemaat terbelah, aroma perselisihan sudah sampai taraf yang mengancam keutuhan gereja-gereja yang bernaung dalam sinode GBI.

Betapa panasnya suksesi kepemimpinan GBI kala itu bisa kita simak dalam sebuah surat keprihatinan yang dimuat di situs ini http://www.salib.net/News/article/sid=284.html

Nampaknya libido kekuasaan sudah merasuki sanubari JN yang sebenarnya sangat dihormati dikalangan gereja-gereja Pentakosta, ia berusaha meraih jabatan lebih tinggi lagi, alhasil ia pun berhasil merengkuh tahta ketua Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI). PGPI adalah sebuah organisasi yang menaungi Gereja-gereja denominasi aliran Protestan khusus Pentakosta, yang berdiri pada tanggal 14 September 1979 dengan nama sebelumnya Dewan Pantekosta Indonesia (DPI), dan organisasi ini sejajar dengan PGI.

Rupanya “hoby” JN bermain-main dengan kekuasaan terus berlanjut. Ketika pilkada DKI Jakarta tengah berlangsung dengan sengit, dia mempelopori dukungan para pendeta dibawah kekuasaannya untuk memberikan dukungan secara vulgar kepada Fauzi Bowo. Dari sini kiprah JN membawa gerbong organisasi gereja yang dipimpinnya untuk bermain di politik praktis dimulai. Lalu apa hasilnya ? Rupanya Tuhan tidak merestui manuver zig zag JN tersebut. Foke pun keok melawan Jokowi.

Tapi nampaknya pengalaman jagoannya kalah dari Jokowi masih membekas dalam sanubari JN. Selain reputasinya ambruk akibat kekalahan menyakitkan itu, saya menduga timbul semacam dendam dihatinya. Bisa jadi mulai muncul sindrom Jokowi phobia dalam diri JN.

Oleh sebab itu dalam gelaran pilpres 2014 yang menampilkan Jokowi sebagai salah satu kandidat calon presiden, JN memilih membuat manuver politik lagi.

Sejarah berulang. Tidak kapok dan bertobat dari kesalahannya membawa gereja ke ranah politik praktis yang keras dan penuh intrik, JN berulah lagi dengan secara terang-terang membawa gerbong PGPI yang dipimpinnya untuk mendukung capres/cawapres nomer 1 Prabowo-Hatta.

Berikut surat edaran yang ditandatangani oleh JN dan sekum PGPI.

CATATAN KRITIS

1. Memilih atau memihak capres/cawapres tertentu adalah hak setiap individu yang tidak bisa diganggu-gugat. Namun persoalannya menjadi lain, ketika seorang gembala jemaat terlebih ketua sinode merangkap ketua organisasi gereja, secara terang-terangan memihak dan mengarahkan organisasi dibawahnya untuk memilih capres/cawapres tertentu.

Secara etis ini tidak bisa dibenarkan. Kenapa demikian ? Sebab jemaat dan organisasi gereja dibawah sang ketua umum tentu memiliki preferensi politik yang beragam yang tidak mungkin diseragamkan.

Ironi terbesar disini adalah ketika seorang ketua sinode dengan terang-terangan dan tanpa rasa malu mengarahkan anggota jemaatnya serta organisasi dibawahnya untuk diarahkan ke gerbong tertentu. Potensi perpecahan dibawah tentu sangat besar. Gembala jemaat yang seharusnya menjadi bapak yang adil dan besar hati untuk mengayomi setiap anak-anak rohaninya, menjadi tidak adil lagi. Bayangkan betapa kecewanya jemaat atau pendeta-pendeta dibawah JN yang memilih Jokowi, mereka tentu akan sangat terintimidasi dengan surat edaran itu.

Sebagai pembanding kita bisa lihat apa yang diputuskan oleh ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang memilih untuk netral dalam pilpres. Pilihan netral jelas lebih bijak. Ketua PGI tentu memilih netral karena ingin mengayomi setiap anak rohaninya agar bisa menentukan pilihan dengan nyaman tanpa intimidasi. Ini sikap seorang gembala yang baik yang memilih menjadi bapak bagi semua anak rohaninya, meskipun secara pribadi beliau memiliki pilihan sendiri.

2. Kampanye terselubung dari atas mimbar gereja tidak terelakkan. Menurut informasi sahih yang penulis dapat dari teman-teman sesama hamba Tuhan di berbagai daerah, JN ternyata memakai setiap kesempatan berkotbah baik dalam acara KKR, Seminar rohani maupun persidangan-persidangan gerewi sebagai alat kampanye terselubung.

Tindakan ini jelas merupakan “penodaan” akan kesucian mimbar gerejawi. Mimbar gereja yang seharusnya dipakai sebagai alat untuk memberitakan kasih Kristus kepada semua mahkluk menjadi tereduksi fungsinya. Bukan Injil Kristus lagi yang diberitakan tetapi sosok yang didukung si pengkhotbah yang diceritakan. Dalam hal ini jemaat tentu menjadi pihak yang sangat dirugikan. Jemaat datang ke gereja untuk mendengar injil Kristus, bukan untuk mendengar orasi politik.

Saat mimbar gereja dijadikan corong politik maka sesungguhnya gereja sedang bermain di dua kaki, kaki yang satu menapaki jalan pedang kekuasaan duniawi, kaki yang lainnya menapaki jalan kasih Kerajaan Allah. Gereja yang demikian akan menjadi gereja yang tidak otentik lagi, gereja yang “melacurkan diri” dari panggilannya yang mulia.

3. Tidak ada makan siang gratis. Informasi yang sampai ke telinga saya JN dalam mobilisasinya menjadi “jurkam terselubung” Prabowo-Hatta sampai dipinjami pesawat jet pribadi Hashim Djojohadikusumoadik Prabowo.

Oleh sebab itu JN dengan leluasa mengadakan KKR dan seminar yang disisipi kampanye terselubung mulai dari Jakarta sampai Kupang NTT. Saya tidak tahu persis apakah dukungan itu juga disertai dengan “mahar politik” segepok uang. Biarlah JN dan Tuhan yang mengetahuinya. Tapi politik itu adalah permainan “siapa melakukan apa untuk mendapatkan apa.” Biarlah waktu yang akan menawabnya.

4. Tulisan ini merupakan suara profetis bukan saja bagi JN tapi juga bagi para pemimpin gereja universal. Jangan kita menggadaikan panggilan kita yang mulia sebagai hamba Yesus Kristus menjadi hamba sahaya capres tertentu.

Saya berharap teman-teman yang memiliki keprihatnan yang sama sudi menyebar luaskan pesan ini dan juga bersuara agar gereja bisa kembali ke hakekat panggilannya yang mulia “menghadirkan Kerajaan Allah” dimuka bumi ini secara unik, otentik tanpa pamrih apapun kecuali kemuliaan Kristus Sang Raja Gereja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun