Mohon tunggu...
Kuncoro Adi
Kuncoro Adi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di semarang, tinggal di Jakarta. Penulis, editor buku dan pembicara publik. Tulisan tentang kerohanian, bisa di akses di blog pribadi http://kuncoroadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Pergeseran Makna Wahyu Keprabon

13 Maret 2014   21:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pandangan filosofi Jawa,seseorang bisa menjadi raja atau penguasa kalau ia memiliki apa yang disebut sebagai “wahyu keprabon.” Apa itu wahyu keprabon ? Secara sederhana wahyu keprabon adalah semacam legitimasi supranatural dimana orang yang memilikinya dipandang mengantungi restu illahi untuk menjadi penguasa.

Konsep ini begitu berurat berakar dalam tradisi Jawa. Sehingga banyak penguasa Jawa pada masa lampau bersedia melakukan laku dan ritual yang aneh-aneh agar bisa memperoleh wahyu tersebut. Kisah yang paling legendaries barangkali adalah kisah dimana Ken Arok “memaksa diri” mengawini Ken Dedes (janda Tunggul Ametung yang dibunuhnya) karena ia menyaksikan bahwa dari “kemaluan” Ken Dedes memancar semacam sinar terang yang diyakini sebagai pertanda wahyu keprabon ada dalam dirinya. Itu artinya, Ken Arok meyakini bahwa dari “kemaluan” (baca : rahim) Ken Dedes lah raja-raja Jawa akan dilahirkan.

Pertanyaannya, masihkah paham tentang wahyu keprabon atau pulung itu diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa (Indonesia) ? Saya kira sudah tidak lagi. Sebagian besar masyarakat Jawa (Indonesia) tidak lagi meyakini bahwa untuk menjadi seorang penguasa, seseorang harus ketiban pulung atau wahyu keprabon yang sering digambarkan berupa sinar terang yang turun dari langit.

Paham demokrasi barat telah menggeser makna wahyu keprabon itu dan kemudian menggantinya dengan konsep “Vox populi vox Dei” (suara rakyat, suara Tuhan).

Jadi untuk menjadi penguasa, seseorang tidak lagi harus direstui oleh “langit”, tapi harus didukung oleh “bumi” (baca : rakyat). Dan suara rakyat itu kemudian diidentikkan dengan suara langit (Tuhan).

Dengan logika seperti ini, maka untuk memperoleh wahyu keprabon modern ini seseorang tidak lagi perlu mengawini ratu ini atau gadis itu. Yang dibutuhkan adalah langkah-langkah nyata yang bisa merebut hati rakyat. Serentak dengan itu seorang calon penguasa tidak lagi perlu menyepi bertapa ke hutan ini atau berendam di sungai itu untuk memperoleh wahyu keprabon. Yang diperlukannya barangkali hanya “blusukan” mendekati hati rakyat dan memangkas jarak birokrasi, sehingga rakyat merasa dekat dengan dirinya.

Mencermati geliat pileg dan pilpres yang sebentar lagi akan dihelat, rasa-rasanya, hanya Jokowi yang paling mendekati sosok yang pantas menerima wahyu keprabon modern itu. Maka bagi saya tidak mengherankan kalau semua survey mengunggulkan dirinya sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan.

Masalahnya, kita tinggal menunggu hari dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendeklarasikan pencapresan Jokowi. Setelah itu, tanpa bermaksud mendahului kehendak illahi, rasanya wahyu keprabon itu tidak akan jauh-jauh dari sosok kerempeng tapi bernyali besar bernama Jokowi !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun