Mohon tunggu...
Jumari Awi
Jumari Awi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen STAI Denpasar Bali

Sharing itu penting

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cogito Ergo Sum!!!

19 Maret 2014   20:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“cogito ergo sum”; saya berpikir, maka saya ada !!!. Begitulah kurang lebih semboyan Descartes, dedengkot filsafat modern, pengusung paradigma Rasionalisme. Pernyataan yang sangat fenomenal dalam babak perkembangan ilmu dunia barat tersebut, menandai grand opening Episode Kebangkitan, dengan target pemulihan derajat akal budi sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Pada episode sebelumnya, akal budi telah terpasung oleh dogmatisme iman (Episode Patristik: Bapa Gereja), dan terombang-ambing dalam pusaran dua kepentingan, yakni antara upaya kooptasi lembaga pengajaran, melawan radikalisme dogmatis (Episode Skolastik: Guru).

Dikisahkan, bahwa perkembangan ilmu dunia barat, secara umum terbagi dalam 2 babak dan 7 episode. Pertama, babak sebelum Abad 15/16 M, meliputi; Episode Yunani Mitos, Yunani Logos, Patristik, dan Episode Skolastik. Kedua,babak setelah Abad 15/16 M, meliputi; Episode Kebangkitan (Renesanse), Pencerahan (Aufklarung),dan Episode Kontemporer.

Pada Episode Yunani Mitos (sebelum Abad 6 SM), perkembangan ilmu diawali kisah dominasi pemikiran mitologi (dongeng dan takhayul). Pada pengujung episode ini, muncul tokoh pemikir seperti; Thales, Anaximander, Anaximenes, Pythagoras, dan Demokritos, yang sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché), sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam (kisah demitologi).

Kisah demitologi selanjutnya membuncah pada Era Keemasan, yakni pada Episode Yunani Logos (Abad 3 SM–6 M). Sokrates hadir dengan paradigma Naturalisme, bahwa individu memiliki pengetahuan yang dibawa sejak lahir. Plato mengemukakan paradigma Idealisme, bahwa kenyataan itu merupakan proyeksi dari “ide” yang abadi belaka, sehingga yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Sementara bagi Aristoteles (the master of those who know), bahwa “ide” bukanlah terletak dalam dunia abadi sebagaimana pandangan Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Bahkan ditegaskan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk.

Memasuki Abad 6–14 M, perkembangan ilmu dikuasai oleh pemikiran Kristiani (Episode Patristik), dengan konsep akal budi “diabdikan” untuk dogmatisme gereja. Hingga pada pengujung episode ini, panggung didominasi sikon yang kurang kondusifbagi perkembangan ilmu (Era Kegelapan). Sebagai contoh, kisah nasib seorang astronomPolandia (N. Copernicus), yang dihukum kurungan seumur hidup olehotoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-bendaangkasa adalah matahari (Heleosentrisme). Temuan ini dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja, karena bertentangan dengan teori Geosentrisme Ptolomeus(Bumi sebagai pusatperedaran benda-benda angkasa), yang telah mendapat “mandat” otoritas Gereja. Kisah memilukan ini merupakan bukti adanya pergesekan antara upayakooptasi lembaga pengajaran, melawan radikalisme dogmatis (Episode Skolastik).

Setelah abad 15/16 M, babak perkembangan ilmu diawali dengan Episode Kebangkitan. Tokoh-tokohnya antara lain; Macchiavelli, Hobbes, Bacon, Rene Descartes, Kant, Newton, Darwin, Thomsondan sebagaiya. Dalam episode ini, panggung keilmuan diiringi alunan Antroposentrisme, bahwa pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos sepertipada Episode Yunani Mitos, atau Tuhan sebagaimana pada Episode Patristik dan Skolastik. Juga alunan “Double Truth”, yakni kebenaran ganda; akal dan wahyu.

Di tengah-tengah euforia kebangkitan akal budi, dan diiringi gemuruh kedua alunan tersebut, muncullah Descartes dengan meneriakkan semboyan “cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada)!!!. Secara pelan tapi pasti, Descartesdengan paradigma Rasionalisme-nyamulai menghidupkan EpisodeKebangkitan,danmembenamkan EpisodePatristik dan Skolastik (dogmatisme iman). Rasionalisme Descrates berisi pemikiran; 1) otak merupakan sumber dari segala pengetahuan yang dimiliki individu, 2) beberapa bentuk pengetahuan diperoleh sejak lahir, dan 3) otak terpisah dari badan (teori dualisme).

Dalam kisah selanjutnya, Descartes mendapatkan perlawanan John Locke dengan paradigma Empirisme-nya, bahwa pengalaman adalah dasar dari pengetahuan. Pertarungan antara Rasionalisme dan Empirisme, pada akhirnya didamaikan oleh Immanuel Kant melalui paradigma Kritisisme, yang berisi pemikiran; 1) adanya sifat instrinsik dari intelektual yang ada lebih dulu sebelum adanya pengalaman. Pendapat ini sejalan dengan Rasionalisme bahwa otak memiliki sifat bawaan yang terpisah dari pengalaman, 2) pada saat yang sama, Kant memiliki pendapat yang sejalan dengan Empirisme, yaitu untuk mendapatkan pengetahuan, seseorang tergantung pada pengalaman sensori, dan 3) schemata yang juga diartikan sebagai representasi mental merupakan mediasi antara informasi sensori dan sifat bawaan otak. Schema merupakan usaha Kant untuk menghubungkan dunia fisik dengan dunia mental bawaan.

Meskipun setelah membenamkan dogmatisme iman,Descartes mendapatkan perlawanan Locke, dan “didamaikan” oleh  Kant, namun Rasionalisme Descartes bersama-sama Empirisme Locke dan juga Kritisisme Kant, masing-masing tetap memberikan kontribusi, tentu dengan porsi yang berbeda,terhadap perkembangan keilmuan selanjutnya, termasuk terhadap aneka metode pembelajaran dalam pendidikan saat ini.

Babak perkembangan ilmu dunia barat, diakhiri dengan kemunculan tokoh-tokoh termasyhur seperti; Einstein, Comte, Faoucault, Habermas, Derida,Wallace, dan sebagainya. Merekalah yang mengawali Episode Kontemporer (Abad 20 M–dan seterusnya). Pada episode ini, panggung keilmuan diwarnai kemunculan beberapa paradigma Postmodernisme, seperti; Positivisme, Strukturalisme, Fungsionalisme, Behaviorisme, Kognitivisme, Psikoanalisime, dan sebagainya.

Sekian,
Salam Restorasi !!!
Jumari Awi

~ tks dan mohon maaf, semoga bermanfaat dan sampai jumpa pada share berikutnya ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun