Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri”, tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Kurikulum ala Pesantren
Dalam konteks ini, mestinya menteri pendidikan ataupun menteri agama tidak usah jauh-jauh studi banding ke luar negeri, kalau hanya ingin merumuskan kurikulum yang cocok untuk dunia pendidikan di Indonesia. Cukup dengan datang ke pondok pesantren yang ada di Indonesia, lalu lihat bagaiamana proses pembelajaran di dunia pesantren. Sejarah mencatat, pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Kita bisa lihat bagaimana proses pelajaran di pesantren yang diterapkan dengan sistem sederhana (metode tradisional). Walaupun, ada beberapa pondok pesantren yang lembaganya memiliki berbagai kelengkapan fasilitas pendukung untuk membangun potensi-potensi anak didik (santri).
Maka menurut hemat saya, model pendidikan di lingkungan pesantren perlu dikaji oleh pemerintah, untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat kurikulum yang diterapkan secara nasional. jika Kurikulum 2013 menitikberatkan pada pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai etika dan moral, maka model pendidikan ala pesantrenlah yang tepat untuk dijadikan contoh. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan akan tetapi dalam segi akhlak, sosial, intelektual, spritual, dan mental menjadi ciri khas dalam pendidikan pesantren.
Yang membedakan lembaga pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah dinamika kehidupan dalam pesantren terjalin lebih harmonis dan humanis. Interaksi antara santri dengan kiai sangat kuat. Mereka hidup sebagai keluarga besar. Kiai tak perlu sibuk mengurus sertifikasi, sebagaimana yang dilakukan guru lembaga di luar pesantren. Kiai memosisikan dirinya sebagai pendidik sekaligus pemimpin keluarga, yang tidak hanya mendidik dan mengajari ilmu pengetahuan, akan tetapi nilai-nilai moralitas dan akhlak menjadi perhatian khusus dalam lingkungan pesantren.
Kiai tidak hanya mengajarkan tentang pahala salat berjamaah. Tetapi kiai memimpin langsung salat berjamaah bersama para santri. Sehingga, konsep yang diterapkan itu bukan berbasis “pahala-isme”, yang mana murid hanya diberi pemahaman tentang keilmuan tetapi tidak dihadapkan dengan implementasi di kehidupan sehari-hari.
Diakui atau tidak, ke depan tuntutan zaman dan persaingan di dunia yang serba modern ini semakin berat. Hampir setiap hari, kita saksikan tawuran antarpelajar, pemerkosaan di kalangan pelajar, keterlibatan pelajar dalam penggunaan narkoba, dan sebagainya. Tentu, hal ini menimbulkan keprihatinan bagi kita semua. Gagalnya lembaga pendidikan mencetak generasi bangsa disebabkan karena pendidikan kita cenderung mengejar kecerdasan otak ketimbang karakter, moral, dan nilai-nilai agama. Anak didik hanya dituntut pintar secara ilmu pengetahuan tetapi mengabaikan nilai-nilai akhlak.
Dengan hadirnya pesantren yang tetap teguh memegang tradisi, yang diwariskan secara turun temurun oleh para ulama. Kita berharap pendidikan ala pesantren ini tetap konsisten dalam mencetak karakter-karakter tangguh yang melekat pada santri. Oleh karena itu, menurut hemat saya, kurikulum pesantren harus diadopsi sebagai solusi atas keruwetan kurikulum di Indonesia. Ini karena pesantren memang sumbernya pendidikan karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H