Awal bulan Desember kemarin, pemerintah melalui Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di seluruh Indonesia. Keputusan tersebut mengejutkan banyak kalangan, mengingat Kurikulum 2013 ini  masih baru diterapkan sejak Juli 2013 lalu.
Satu sisi ada yang merespon positif. Terutama, mereka yang merasa dirugikan dengan penerapan Kurikulum 2013. Tak sedikit pula yang tidak sepakat. Mengingat K-13 masih seumur jagung pelaksanaannya. Apalagi, kurikulum ini menelan biaya sekitar Rp6 triliun. Namun sayangnya, biaya yang begitu besar belum diikuti dengan mulusnya pelaksanaan di lapangan. Lalu, apa yang salah dengan kurikulum di Indonesia? Dan, siapa yang harus bertanggung jawab? Inilah yang harus kita jawab bersama.
Kurikulum 13 di Persimpangan Jalan
Sebenarnya berbicara perubahan kurikulum bukan hal yang baru lagi di negeri ini. Setiap ada pergantian penguasa, di situlah kurikulum juga mengalami perubahan. Tentunya, perubahan tersebut tidak lepas dari perkembangan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dampaknya pun sangat memengaruhi kualitas pendidikan itu sendiri.
Hingga kini, kurikulum pendidikan di Indonesia belum memenuhi standar mutu yang jelas dan kongkret. Kalau berdasarkan pada fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional, mestinya perubahan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa masa depan. Kurikulum pendidikan sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan kebutuhan, tantangan, tuntutan, dan perubahan masyarakat.
Topik utama ketika kita memperbincangkan pendidikan itu adalah manusia. Kenapa manusia? Karena, manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan. Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan, sebagai pegiat dan pelaksana pendidikan.
Oleh karena itu, hemat saya, pendidikan mestinya melahirkan pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi, bertanggung jawab, dan  bersifat proaktif dan kooperatif. Bangsa ini membutuhkan generasi yang andal dalam bidang akademis, sekaligus memiliki watak dan karakter yang baik. Singkatnya, generasi yang diharapkan bangsa ini adalah pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis dan berbudi luhur.
Sekarang, kita coba melihat bagaimana penyelenggaraan UN yang kerap diwarnai dengan kecurangan dan ketidakjujuran. Lalu, bagaimana mungkin bangsa ini bisa melahirkan generasi-generasi yang jujur dan baik, kalau pendidikannya sudah terbiasa dengan sistem ketidakjujuran.
Meneropong Implementasi Kurikulum 2103
Sukses tidaknya sebuah kurikulum dalam tataran implementasi tergantung kepada peran dan kreativitas guru. Sebagus apapun kurikulumnya, kalau gurunya tidak bisa menyampaikan dan mengimplementasikan dengan baik, maka dijamin akan sia-sia dan berjalan di tempat. Maka di sini pentingnya sebuah kreativitas seorang guru. Saya sering diskusi dengan beberapa guru pengajar. Hampir semua guru yang saya ajak diskusi itu merasa kewalahan dengan Kurikulum 2013 ini. Minimnya kesiapan guru dalam menerapkan kurikulum ini karena banyak guru yang belum mendapat pelatihan. Belum lagi ketika memasuki proses penilaian rapor yang bentuknya penilaian deskriptif.
Nah, di saat guru tidak siap dengan kurikulum ini, di saat itu pula guru terbebani dan disibukkan dengan urusan sertifikasi. Kesibukan itu membuat guru kelelahan, sehingga asal-asalan saat mengajar. Padahal, program sertifikasi guru ini telah menguras sekitar dua per tiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN. Tetapi ternyata, tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional.