"Njirr, bangke lu jo (Joshua)". Umpatan ini khas karya warganet dibelantara perfilman Indonesia. Saya pun mengamini hal ini selepas nonton film garapan Fajar Nugros yang katanya punya aura magis menghidupkan sebuah film.
Gimana enggak, rasa rasanya kurang puas ketika disuguhi promosi sekelas youtube Raditya Dika (yang penulis, yang pemain, yang sutradara pilem). Ditambah lagi guyon khas ala kanal youtube Majelis Lucu Indonesia. Dan terus si tukang obok-obok itu bilang di salah satu video "ada 183 titik ketawa di film ini". Artinya rata-rata 2/lpm di film berdurasi 80 menit. Artinya lagi, kamu harusnya bakal ketawa 2 kali tiap menit selama film ini tayang *Laugh per Minute (baca: lpm). Saya sungguh teracuni prett, kmprett!!!
Ya terus, saya ajak dong... temen kampus buat beli tiket nonton film yang diadopsi dari buku Kevin Anggara (tokoh utama) ini. Berangkat dengan ekspektasi tinggi, gak sabar, menebak nebak bakal kaya apa serunya. Ehh pas udah nonton, saya baru inget, ini filmkan genrenya komedi. Ya jelaslah lawakannya becanda alias kurang lucu. Mbok ya tolong lawakannya yang serius gitu lhoo.
Lebih lucu skripsi temen saya jo, dua semester nggak digarap dan hampir ganti judul. :v
Lepas dari lawakannya yang kurang kena di beberapa tempat. Mungkin bukan karena komedinya kurang cerdas, hanya saya mungkin tidak memiliki kesamaan referensi terhadap jokes yang dilempar *kata Pandji Pragiwaksono. Yuklah mulai masuk topiknya.
Generasi Micin tetap layak ditonton dan patut diacungi jempol dari beberapa sisi. Pertama komunikasi lintas agama, adegan di mana Ferry Salim (ayah Kevin) menjual tas kepada Pak Haji yang dibarengi dengan diskon. Kata Ferry Salim dalam film tersebut "jualan itu bukan perkara soal cuan". Kira kira begitulah. Dan adegan Morgan Oey (Paman Kevin) saat diminta bantuan menyanyi di Gereja padahal dia jelas-jelas dari keturunan Chinese. Serta peran Joshua yang keturunan muslim justru malah menggemari hal berbau Korea bersama emaknya yang  ngapak dan pakai jilbab rapih.
Kedua, film ini banyak dibubuhi kata-kata mutiara khas film berbau anak muda yang diselingi komedi. Seperti yang dilontarkan Mathias Muchus (Kepala Sekolah) "Kalau segala sesuatu dilakukan dengan hati yang tulus pasti akan berhasil". Maaf, lupa saya kata petuah yang berbau komedinya. hehe
Yah. Film ini ringan bisa dikonsumsi oleh siapapun, termasuk orang kaya saya yang awam nonton di bioskop. Tapi Ssssst sebentar. Ada satu adegan yang kurang konsumtif, di bawah umurlah sebutannya. Film-film formulanya memang begitu kali ya.
Ini film kesannya micin banget. Nampilin tiktok, goyang dua jari ala-ala dede emesh berbaju SMA, vlogging, main game. Pake kata-kata kids jaman now, babang tamvan, tetew tetew. Dan yang saya kurang setuju seolah-olah bullying itu lekat banget sama generasi micin/generasi Z ini. Kaya udah hal yang lumrah terjadi, padahal maksudnya bukan itu kan, iya kan.
Terakhir, kebanyakan callbacknya jo. Ini barangkali yang ngebuat jokesnya receh. Liat aja si Kiki CJR berulang-ulang nyebut "ingetin gua" "ingetin gua". Atau ketika Melissa Karim (Ibu Kevin) bilang "Kapan beli ruko di Pantai Indah Kapuk".
Kesimpulan dari film ini mengarahkan kepada penonton untuk lebih memahami bagaimana polah generasi micin, bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Dan memahami bahwa yang dimaksud generasi micin ialah generasi yang pa-apa maunya serba cepat/instan, bukan malah gara-gara suka micin makanya bikin beg*. Bukann...