Terkadang seseorang harus berani keluar dari kondisi normalnya untuk bisa mengeksplorasi di titik mana dia berada. Kemampuan seseorang harus terus dilatih agar tetap selalu “hangat”. Kejadian berikut nampaknya bisa menjadi lecutan buat saya khususnya maupun kita semua untuk terus istiqomah belajar.
Hari itu, Minggu 29 Juli 2012, matahari terlihat memancarkan sinarnya tidak terlalu terik. Yaiyalah, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Saya telah sukses meringkuk tidur di kamar ini selama hampir 6 jam terhitung jam 8 pagi tadi. “Ibadah” terlama yang pernah saya jalani. Hehehe.
Bangun tidur, kebosanan melanda, kepala pun ikut pening. Waktu berbuka puasa masih cukup lama, pukul 17.55. Saya pun memutuskan untuk jalan-jalan. Saya pun memilih Masjid Istiqlal sebagai destinasi ngabuburit. Selain untuk melaksanakan Itikaf, ada cerita bahwa masjid ini selalu mengadakan acara berbuka puasa bersama. Alhamdulillah, ngirit jatah.
TransJakarta Dukuh Atas-Kota berhenti di Halte Museum Nasional yang tak jauh dari Monumen Nasional yang berdekatan pula dengan Masjid Istiqlal. Saya pun turun bersama beberapa penumpang lain. Semangat sekali tatkala melihat keramaian di sekitar Monas. Sejenak saya menikmati keriuhan taman kota yang luas itu. Ada yang nongkrong, jalan-jalan, olahraga, dan berfoto-foto. Selanjutnya saya meneruskan perjalan ke tempat tujuan.
Jam menunjukkan pukul 15.45 tatkala saya telah melihat kubah masjid Istiqlal yang megah nan besar dari halaman Monas. Sekalian sholat Ashar, rencana saya. Walaupun sudah terlihat, masjid itu masih agak jauh letaknya. Saya menyusuri jalan kecil khusus pengguna jalan, masih di halaman Monas. Di depan saya terlihat dua orang asing alias bule alias turis sepertinya sedang berjalan tergesa-gesa. Diamati dari ciri fisiknya, kedua bule tersebut adalah ras yang berbeda, yang satu saya pastikan ras kulit hitam, Negroid, dan yang satunya lagi kulit putih, ras kaukasoid mungkin, Eropa atau Amerika. Mereka kerap tengok kanan kiri, di tangan si bule kulit putih tergenggam semacam peta atau buku informasi perjalanan wisata. Sesekali si bule mengamati kertas di tangannya, lalu tengok kanan kiri sembari berucap kepada temannya yang satu.
Saya sedikit menguping pembicaraan mereka, namun apa daya, perbendaharaan bahasa internasional yang saya miliki tidak mumpuni untuk mencerna pembicaraan mereka. Mulai dari SMP sampai SMA saya sempat mengecap kursus bahasa Inggris, namun tak satu pun kosa kata yang keluar dari bule itu kira-kira bahasa Inggris. Maka saya pastikan mereka bukan orang Inggris. Hehe..
Sesuatu yang tak terduga terjadi. SI bule berkulit hitam dengan postur tubuh besar menoleh ke belakang dan menatap saya, sambil mengatakan sesuatu yang hampir tak saya mengerti.
What, Mister?Tanya saya belepotan. Saya digelayuti perasaan merinding, takut, grogi, takjub. Untuk pertama kalinya saya berhadapan dengan Native Speaker. Saya kerahkan seluruh kemampuan, terutama kemapuan mendengar. Saya coba mengerti apa yang dikatakan si bule. Samar-samar satu kata yang dapat saya pahami, “mosque..mosque..”
“Istiqlal, yeah?”, tanya saya meyakinkan.
“Yes, where is it?”, tanyanya.
Waduh, saya bingung sekali. Tak tahu apa yang mau dikatakan. Kalau pakai bahasa Indonesia sih gampang, tinggal bilang, “jalan lurus, terus keluar pagar, lalu menyeberang, terus belok kiri”. Kalau pakai English, gimana coba?
Di tengah kegusaran, langsung saja saya katakan, “left..left..Mister”.
Maksud saya “jalan terus, lalu belok kiri.” Karena Masjid Istiqlal berada di sisi kiri pandangan saya ketika itu.
“o..left yah, yah.. terimakasih”, kata si bule putih.
“sama-sama, Mister” jawabku. “I want to go to the mosque too” lanjutku berani. Kapan lagi dapat kesempatan ngobrol sama orang asing, pikir saya.
“o..let’s go together” ajak si bule hitam.
“Where’re you from, sir?
“Senegal,....France..”, ternyata si bule hitam berkebangsaan Senegal, dan yang bule putih dari Perancis. Pantas saja pembicaraan mereka nyambung, Senegal merupakan bekas koloni Perancis. Jadi sedikit banyak, warga Senegal bisa bicara bahasa Perancis, pikir saya.
“And you, where’re you from?”, tanya si Senegal. What! Rupanya dia menyangsikan tampang ke-Indonesiaan saya.
“Indonesian, of course!
“Well, tell us more about that mosque! It’s the biggest mosque in Indonesia, right? Tanya si Perancis.
“Even the biggest mosque in Shouteast Asia, Sir.”, tambah saya. “two hundred thousand people can pray together there.” Jelas saya.
“Woaw..amazing!” saya lihat raut wajah mereka terkejut mendengar penjelasan singkat saya, yang entah benar entah tidak. Bahkan entah benar entah tidak kalimat bahasa Inggris belepotan yang saya ucapkan.
Hanya itu yang dapat saya informasikan kepada mereka. Selebihnya mereka saling berbicara dengan bahasa ibu mereka, saya tak paham. Sesekali mereka mengambil foto-foto pemandangan di sekitaran Monas.
Lalu saya bertanya tentang kunjungan mereka ke Indonesia. Si Perancis berkunjung untuk kedua kalinya. Si Senegal menimpali bahwa Jakarta merupakan “hot city”. Kamipun tertawa. Selebihnya mereka mengeluarkan pernyataan, bukan pertanyaan, yang saya tanggapi dengan “oo...” atau “yes” atau“alright”.. kacau dah!
Sepuluh menit kemudian sampailah kami di salah satu pintu gerbang Masjid Istiqlal yang berada di dekat sebuah halte TransJakarta. Ketika akan masuk, seorang paruh baya berpeci putih dan baju kok putih menyambut kami di gerbang.
“Anda mau kemana?” tanyanya kepada saya. Nada bicaranya seperti menginterogasi. Kesan pertama: tak ramah.
“Mau sholat”, jawab saya sekenanya.
“Ya sudah, masuk sana!” perintahnya
Saya pun masuk ke halaman masjid. Kedua bule masih di luar pagar. Si orang tua paruh baya giliran bertanya kepada bule perihal kedatangannya ke Istiqlal. Kedua bule ingin masuk. Si orang tua menjelaskan tentang prosedur mengunjungi masjid Istiqlal bagi turis asing. Prosedurnya meliputi pelaporan ke pengurus masjid hingga cara berpakaian. Kebetulan si Perancis mengenakan celana pendek. Kontan saja itu menjadi perhatian si bapak tua. Setelah memberikan penjelasan, dan kedua bule setuju. Si bapak tua menoleh ke arah saya yang dari tadi memperhatikan mereka.
“Anda kenapa masih di sini? Katanya mau sholat! Ya sudah masuk sana. Anda jangan macam-macam. Saya ini petugas resmi. Ini kartu pengenal saya dari Departemen Agama.” Cerocos si bapak tua sambil menunjukkan kartu nama yang menggantung di lehernya.
Saya langsung terkaget-kaget mendapat perlakuan seperti itu. Namun saya masih tenang. Saya jelaskan bahwa saya bertemu kedua bule tersebut di Monas. Mereka ingin mencari masjid Istiqlal, kebetulan saya juga punya tujuan yang sama. Akhirnya kami pergi bersama. Melihat saya yang adem-ayem aja, si bapak tua melunak.
“Ya, maaf, mas. Di sini banyak “orang” gak resmi yang sering menjadi pemandu. Padahal pengunjung asing yang datang harus didata dan diberi penjelasan resmi dari pengurus masjid. Apalagi pengunjung ini pakaiannya gak sopan. Ya harus ditegur”, jelas bapak tua ramah.
Oalahh..pak..pak.., jadi pikirnya saya ini pemandu wisata liar yang tidak resmi yang memungut bayaran, to.. memang penampilan luar selalu dinilai! Hahaha.
Akhirnya kami pun berpisah. Saya menuju tempat wudhu, kedua bule dipandu bapak tua menuju tempat lain khusus pengunjung. Tak lupa saya mengucapkan perpisahan kepada kedua bule.
“Nice to meet you, Mr....?”, tanya saya kepada bule Perancis.
“Berd***c”, ntah apa yang diucapkannya ketika memperkenalkan namanya.
“Nice to meet you, Mr..? saya menyalami bule Senegal sambil bertanya namanya. Dan dia pun memnyebut namanya yang juga tak saya paham betul. Betul-betul belepotan bah!
Agaknya masih banyak yang harus diperbaiki. Mumpung hari belum berganti. Terus belajar! Hari ini belajar, besok boleh bermain!
Salam semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H