Mohon tunggu...
TWP
TWP Mohon Tunggu... -

Bissmillah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput, Memilih untuk Tidak Memilih

9 Oktober 2016   23:42 Diperbarui: 10 Oktober 2016   00:02 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum merupakan ajang pencarian pemimpin atau wakil rakyat. Karena pada prinsipnya demokrasi itu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pemilu merupakan ajang partisipasi kita untuk ikut serta membangun pemerintahan. Pemilu merupakan realisasi dari demokrasi yang menganut sistem perwakilan di Indonesia. Dengan memilih orang yang kita anggap mumpuni untuk mewakili diri kita dan orang lain berarti kita sudah ikut mendukung jalannya demokrasi dalam tataran prinsip “oleh rakyat”.

Pemilu merupakan hal penting dalam awal proses demokrasi. Suara kita sangat dibutuhkan demi pembangunan pemerintahan. Lantas mengapa masih banyak orang yang pasif dan memilih untuk Golput? Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen. Pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7 persen dan jumlah Golput mencapai 28,3 persen. Bagaimana dengan Pemilu 2014? Berdasarkan survei dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network telah menetapkan persentase pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil kalkulasi mereka melalui metode penghitungan cepat, tingkat ‘golongan putih’ pemilu tahun ini hampir menyentuh angka 25 persen. “Tingkat partisipasi pemilih 75,2 persen. Sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,8 persen,” tulis peneliti CSIS Philips J. Vermonte, melalui keterangan pers.

Dalam menganalisa kasus Golput seperti ini kita bisa lihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang pemilih aktif  dan sudut pandang Golput. Dari sudut pandang pemilih aktif, mereka menganggap memilih dalam pemilu merupakan suatu hak dan kewajiban, pemilih pasti ingin apa yang mereka harapkan untuk pemerintahan tercapai dengan cara memilih wakil rakyat yang mereka rasa mampu. Oleh karena itu lah mereka ada niatan menggalang masyarakat agar satu prinsip satu tujuan. Meskipun dibalik itu ada suatau kepentingan. Akhirnya mereka bergerak aktif dalam demokrasi. Pun, sebaliknya masyarakat pasif atau Golput menganggap bahwa memilih langsung dalam pemilu mungkin tidak akan merubah keadaan mereka dalam tataran berbangsa maupun kepentingan personal khususnya. Akhirnya mereka tidak berbuat apa-apa karena mereka berfikir dengan memilih dalam pemilu mereka juga tidak mendapat apa-apa. Meskipun pada prinsipnya, Golput itu juga memilih. Memilih untuk tidak memilih. Golput’er mungkin menganggap dengan tidak memilihnya ”saya” tidak akan berpengaruh pada bangsa ini. Hal inilah yang dikhawatirkan. Jika satu orang befikiran seperti ini tidak masalah. Tapi kalau jutaan orang bagaimana? dari minoritas jadi mayoritas.

Budaya Golput harus kita minimalisir, karena tidak mungkin kita hilangkan. Karena jika tidak, dikhawatirkan demokrasi jadi diartikan dari “sekelompok” rakyat, oleh “sekelompok” rakyat dan untuk “sekelompok” rakyat. Demokrasi tidak akan berjalan utuh karena suatu hal tidak berjalan secara penuh. Satu prinsip berkaitan dengan prinsip lain. Peran pemilih aktif diatas lah diharapkan mampu membuat orang lain menjadi aktif dalam demokrasi lewat pemilu. Memilih dalam pemilu adalah contoh sikap warga negara yang baik. Dan pastinya peran pemerintahlah yang paling utama lewat pendidikan demokrasi. Terlebih menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Jadi jangan memilih untuk tidak memilih tapi memilihlah agar pilihanmu mampu mewujudkan indonesia yang lebih baik!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun