Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang besar. Dengan demokrasi Pancasila yang kita anut boleh dikatakan negara kita merupakan negara yang unik. Namun, banyak tantangan dan hambatan yang silih berganti menghujam negara kita. Mulai dari krisis ekonomi sampai krisis ideologi. Negara kita sedang menghadapi berbagai macam ancaman dari paham – paham yang radikal terhadap Pancasila, seperti paham Khiafah dan Komunisme, dua paham yang sedang panas – panasnya dibicarakan di Indonesia dengan kelompok maupun sekte pendukung yang menghambat dan mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagaimana jika sekte radikal yang satu ini bangkit kembali ? Golongan Putih (Golput), golput pada hakikatnya adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari orang – orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam Pileg) atau Presiden (dalam Pilpres). Dengan bangga mereka mengacuhkan nasib bangsa ini.Masyarakat beranggapan bahwa golput merupakan pilihan terakhir, ketika rakyat merasa sudah kehabisan akal untuk mengoreksi penyelenggara negara yang sudah mati rasa.
KPU mencatat jumlah partisipasi pemilu 1999 partisipasi masyarakat mencapai angka 93,30 % dengan angka golput 6,70 %. Pada pemilu 2004 tingkat partisipasi sebesar 84,07 % dengan angka golput mencapai 15,93 %. Sementara pada tahun 2009 mencapai angka 70,99 % dengan anka golput mencapai 29,01.Berita baiknya, pada pemilu tahun 2014 jumlah partisipasi pemilih mencapai 75,11 % atau melebihi target yang ditetapkan KPU yaitu 75 %, yang artinya ada 24,89 % pemilih yang golput. Dengan kata lain, angka golput menurun pada pemilu tahun lalu.
Angka golput yang tinggi berdampak pada longgarnya dukungan kepada pemerintah yang berkuasa (rezim) sehingga berdampak pula pada dukungan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mungkin secara riil, golput tidak terasa dampaknya secara signifikan. Namun, perlawanan diam dalam bentuk golput ini akan segera menjadi perlawanan yang masif dan agresif ketika bertemu dengan isu-isu besar yang diungkapkan dalam bentuk demonstrasi menentang kebijakan pemerintah. Apalagi dengan jumlahnya yang setiap lima tahun sekali berkembang pesat. Golput dapat dikatakan sama berbahanya dengan gerakan radikal seperti ISIS, krisis nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, politik uang, korupsi, dan lain – lain.
Sikap Golput dapat dimaklumi bila kita berada di Orde Baru, karena ikhtiar memberikan suara memang akan sangat percuma, sebab parpol dan pemimpin yang ada memang sudah “diatur” dari balik layar. Namun pada zaman sekarang, Golput merupakan tindakan kurang terpuji karena golput sama dengan “membunuh” para pemimpin baik dan membiarkan pemimpin yang meragukan untuk melenggang. Kalau kejahatan (Golput) disikapi dengan kekecewaan justru tidak akan mengubah keadaan. Dalam sejarah, kalangan terdidik yang justru terbukti menjadi pejuang pembawa kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik, seperti pada saat Revolusi Perancis, Amerika Serikat, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu daripada kita tenggelam dalam kekecewaan dan mengutuk kelemahan, tentu lebih baik jika kita benahi diri dari hal terkecil. Kalau hal itu dipelihara justru akan menggerogoti demokrasi di negara kita, sehingga penguasa yang buruk akan mendominasi dan masyarakat akan merugi. Generasi muda harus menjadi “api terang” bagi bangsa Indonesia dengan tidak terjebak dalam kekecewaan dan memilih golput sebagai jalan akhir melainkan generasi muda harus menyalakan “obor” yang menuntun bangsa kita dengan segala resiko yang pasti ada, agar GOLPUT itu tidak “membunuh” bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!