Kemarau usai rupanya
Hujan turun tanpa diduga
Aku masih di luar
Termangu menatap atap rumah kita
Lalu kilat dan guntur datang
Titik-titik airnya turun, menderas
Aku teringat pada ternak kita
Aku juga teringat jemuran di belakang rumah
Kemudian aku teringat kebun-kebun yang basah, tersemai
Kau lihatlah bunga-bunga kenikir dan bayam yang kembali segar di pekarangan
Tanaman-tanaman kering yang rindu hujan di sepanjang musim
Lengang di teras
Pendar warna jingga di langit barat, tak tampak
Mendung menggelap
Kau lupa membawa payung saat pergi tadi
Aku sudah mengingatkanmu, tapi kau tidak dengar
Berteduhlah
Hingga hujan mereda
Baru kau lanjutkan langkah
Aku masih di beranda
memandang langit kelam tanpa bintang meluruhkan gerimis yang panjang
Suara katak di parit bersukaria
Bunyi tetes air beradu dengan kaleng bekas di halaman depan
Bersahut-sahutan
Serupa kondektur bus di ujung lorong terminal menawarkan tujuan
Kursi kayu dengan sandaran rotan dingin oleh cuaca
Angin berembus cukup kencang
Menuntaskan tetesan air yang menempel di pucuk-pucuk daun mangga
Sesekali daun-daunnya menggesek genting
Lalu suara gedebuk keras saat beberapa buahnya jatuh di tanah
Hujan masih belum benar-benar reda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H