Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Buku Dear Felix Siauw; Sekadar Koreksi, Biar Ngga Salah Persepsi

24 Maret 2015   11:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427169106266744571

Buku ini membincang keislaman dalam konteks keindonesiaan. Positif untuk dibaca agar masyarakat tahu bahwa di bumi nusantara sudah sejak lama terjadi proses pengintegrasian antara fikih dan kondisi sosial masyarakat, dan berlanjut dalam hukum Islam dengan hukum nasional melalui sarana kebudayaan. Inilah babak lanjutan dialog intensif yang terjadi antara islam dan kebudayaan Turki, Persia, India, Tiongkok, dan Lainnya (Dr.K.H Marsudi Syuhud, Sekjen PBNU)

Ada sebuah buku yang menggelitik saya, dengan desain covernya begitu unyu. pinky boiyy. hahah..serta judulnya yang segar tapi tidak vulgar, santun tapi memberikan koreksi. Ya buku di atas adalah karya seorang M Sulthon Fathoni yang sekarang menjabat sebagai Wasekjend PBNU.  Mungkin beliau, (tidak hanya beliau keleeus, banyak dari kita juga yang gundah dengan cuitan cuitan di dunia maya seorang Felix Siauw yang kontroversi. Sebagai seorang santri sedari kecil, hingga ke Pesantren Luhur Mahasiswa, Ciganjur  suhan Gus Dur dan Kang Said Agil Siradj. M Sulthon Fathoni ini juga sudah menuliskan beberapa karya, diantara nya adalah The Wisdom Of Gus Dur; Butir-BUtir Kearifan Sang Waskita.

Sosial media sekarang ini bisa menjadi panggung buat siapa saja. buat saya juga deng. heheh..dengan memposting tulisan karya Bang Iwan Fals, dengan memposting foto-foto ketika traveling maupun hiking, ah ga masalah buat saya. Di sosial media hampir semua orang bisa menjadi bijak dan bisa saja menjadi seorang sastrawan besar dengan mengutipnya, atau mencomot dari karya sastrawan terkenal tersebut. namun menurutku itu tidak terlalu masalah. yang menjadi perhatian dan permasalahannya adalah, jika kita mempunyai jamaah di facebook (facebookiyah) dan jamaah di twitter (twitteriyah) dengan memberikan pemahaman yang dangkal dan sempit, akan sangat riskan bagi kita para jamaahnya. para jamaah tersebut takutnya, menelan mentah-mentah dari cuitan atau postingan dari seorang yang dianggap sebagai idola, guru atau ustad atau apalah. itu sangat mengerikan kawan. bisa saja kita yang orang awam sangat ingin berbuat baik terhadap agama. namun ketika pencerahan yang di dapatkan ngawur dengan tatanan agama yang ada, malah kontraproduktif dan justru menyuburkan paham-paham yang menyimpang dari ajaran agama.

Indonesia yang kaya akan budaya dan luhur sejarahnya tentu akan selalu beradaptasi dengan hukum nasional, itu jelas dan fikih keislaman Indonesia merupakan pergumulan dan pemikiran mazhab yang ada dengan konteks sosiokultural Indonesia. Bahwa Walisongo menyebarkan Islam Nusantara itu fakta (Atlas Walisongo), penemuan makam Fathimah Binti Maimun, yang di nisannya tertera dalam Bahasa Arab, dengan kaligrafi bergaya Kufi, tahun 1082 M. itu juga nyata. itu bukti nyata bahwa Islam sudah ada sejak ribuan tahun lalu di NUsantara ini.

Nah berkait dengan prolog singkat di atas, maka saya sangat mengapresiasi tulisan M Sulthon Fathoni ini bahwa KEislaman Nusantara yang sesuai koridor yang ada di Nusantara hasil dari pergumulan dan pemikiran MAzhab yang sesuai dengan sosiokultur Kita.

buku ini sebenarnya tidak ada hubungan dengan buku-buku karya Felix Siauw. di buku ini hanya sekadar koreksi tentang cuitan beliau di twitternya yang kontroversi.

contohnya, tentang Nasionalisme. (hal 39) Felix berbicara tentang "Membela Nasionalisme ngga ada dalilnya, ngga ada panduannya. Membela Islam jelas pahalanya, jelas contoh teladannya. ini cuitan kan ngeri sekali ya. bahwa nasionalisme itu kan bagian dari kita sebagai anak bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan di muka bumi nusantara (konteks Indonesia). ini pemahaman saya yang tidak pake dalil dan tidak pake referensi. bahwa ketika kita tidak mempunyai nasionalisme dalam diri kita, untuk apa kita hidup di negara tercinta. kebanggaan terhadap negara itu tergambar ketika kita traveling atau ketika kita menjadi juara di ajang atau event olahraga terbesar. entah itu All England, Piala Sudirman atau Piala Asia. Belum lagi para pahlawan kita yang mengorbankan JIwa dan Raganya berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan atau berjuang mencapai kemerdekaan. murni dan tanpa pamrih. kita lihat perjuangan Bung Karno, BUng Hatta, hingga Panglima Besar Soedirman, yang ketika terbaring lemahpun masih berfikir dan berjuang melawan penjajah Belanda. darimana mana panggilan jiwa tersebut datang jika bukan nurani. ah sudahlah

belum lagi kicauannya tentang "Hanya syariah dan khilafah yang mampu menghapuskan kezaliman dan mengangkat penjajahan, dan itu adalah tuntunan iman".Jelas Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sudah menegaskan bahwa kajian tentang Khilafah bukan sesuatu yang penting dalam Islam. Di Nusantara sendiri yang populasi penduduk muslim terbesar di dunia pun dari awal tidak di topang oleh sistem khilafah. dan ingat Islam menjadi agama yang besar dan pemeluknya meningkat terus menerus, dan itu terjadi tanpa adanya sistem khilafah. negara2 barat berpacu mengkaji islam dengan bersemangat. Dear Felix yang mempunyai jamaah facebookiyah dan twitteriyah berjuta orang, suara anda begitu dahsyat buat pengikut2 anda. berharap cuitanya dan postingannya yang mampu memberikan inspirasi dan pencerahan bagi kita semua. bahwa setiap ucapan yang baik adalah doa dan setiap doa dari kita adalah mutiara-mutiara yang insya allah akan di ijabah.amiin. terakhir saya kutipkan tentang tulisan Gus Dur, yang membahas tentang Tuhan Tak Perlu dibela, menarik sekali. dan memang benar.

Ajakan Gus Dur untuk tidak usah membela Tuhan yang diserukan pada pertengahan 1982 ini kurang lebih didorong semangat untuk menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia. Agama pada awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis. Menurut Gus Dur, hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan. Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif--dalam istilah Michel Foucault--agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama: agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri.(https://www.facebook.com/notes/kongkow-bareng-gus-dur/kolom-kolom-klasik-gus-dur-tuhan-tidak-perlu-dibela/10150656141860165)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun