[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Pengendara motor melewati SPBU yang memasang tanda berisikan "][/caption]
Pernyataan Joko Widodo tentang rencananya bakal mencabut subsisdi BBM apabila beliau dilantik benar-benar menimbulkan efek psikologis yang sangat luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Efek psikologis tersebut dapat kita lihat manakala hampir seluruh SPBU di Indonesia terjadi antrian panjang untuk memperoleh BBM bersubsidi. Bahkanwilayah Pulau Jawa yang selama ini jarang terjadi kejadian seperti ini juga turut merasakan imbasnya. Di Pantai Selatan Pulau Jawa nelayan bahkan sudah tidak melaut lagi karena sulitnya mendapat pasokan BBM bersubsidi tersebut.
Jokowi/JK boleh saja berkelit bahwa antrian panjang yang terjadi bukan tanggung jawab mereka berdua namun beliau tidak dapat mengelak bahwa fenomena antrian ini terjadi pasca pernyataan mereka bakal mencabut subsidi BBM dalam minggu-minggu setelah MK mengesahkan kemenangan beliau. Hal itu juga diperkuat kenyataan bahwa tidak adanya antrian berarti meskipun pemerintah melakukan pembatasan alokasi BBM sejak bulan lalu
Walaupun harus melawan logika terkait kontradiksi sikap PDI P menyikapi masalah subsidi BBM ini, di mana masih segar dalam ingatan kita bahwa tahun lalu PDI P sangat gagah menolak kenaikan harga BBM harus menjilat ludah dan memasang muka tembok seolah-olah lupa dengan apa yang mereka perjuangkan tahun lalu, sebagai rakyat biasa saya yakin kami masih memaklumi dengan rencana pemerintah Jokowi-JK jika itu memang untuk kebaikan bersama. Kami akan mencoba melupakan hitungan kalkulator Rieke “Oneng” Pitaloka bahwa pengurangan subsidi BBM hanya akan membuat pemerintah untung sementara rakyat buntung. Saya akan mencoba melupakan mimpi sesumbar Kurtubi pengamat energi pro-Jokowi dan PDIP bahwa premium bisa diturunkan menjadi Rp 2.000. Kami akan mencoba menutup telinga rapat-rapat ketidaksetujuan Jokowi atas kebijakan SBY mengurangi subsidi BBM saat beliau mencalonkan diri jadi Gubernur DKI 2 tahun lalu. Dan kami akan terima bahwa safari penentangan para tokoh PDI P seperti Maruarar Sirait, Effendi Simbolon dan Ganjar Pranowo di berbagai TV hanyalah sandiwara untuk memperoleh simpati publik.
Namun demikian walaupun memahami rencana dan sandiwara politik tersebut, saya berharap pencabutan subsidi tersebut dilakukan secara bertahap dan hanya dilaksanakan di Pulau Jawa saja.
Alasan kenapa mesti bertahap adalah untuk menghindari efek negatif bahwa pencabutan subsidi BBM akan menyebabkan melonjaknya harga kebutuhan pokok masyarakat. Harus kita akui bahwa pencabutan subsisdi BBM akan berdampak sistemik terhadap perekonomian masyarakat secara umum. Dampak ini tidak sesederhana yang didengung-dengungkan oleh pro-Jokowi bahwa subsidi BBM hanya menguntungkan orang kaya. Pendapat itu bagi saya sangat menyesatkan. Justru masyarakat golongan ekonomi lemahlah yang paling merasakan dampak kenaikan BBM.
Masyarakat golongan ekonomi atas sebenarnya tidak terlalu memusingkan mahal atau tidaknya BBM karena keinginan dan daya beli mereka tidak akan surut sekalipun inflasi naik 100%. Porsi pelesiran mereka tidak akan berkurang apalagi mengurangi menu makan siang mereka hanya karena BBM. Akan tetapi coba bayangkan nasib rakyat kecil yang hanya memperoleh gaji sebagai karyawan rendahan atau petani kecil. Sudahlah penghasilan tidak bertambah harga kebutuhan pokok melonjak tajam, penghasilan pun hanya cukup 2/3 bulan saja. Jika demikian bagaimana nasib anak-anak mereka yang sekolah?
Analogi sederhana di atas sekiranya menjadi pertimbangan Jokowi-JK agar rakyat miskin tidak terlalu kaget dengan kenyataan yang harus diterima. Biarkan mereka menelan pelan-pelan jika itu kenyataan yang harus kami terima.
Kemudian jika tujuan luhur Jokowi-JK mengurangi/menghapus subsidi BBM untuk menutupi beban APBN dan mengalihkan dananya untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana umum maka sebaiknya pencabutan subsidi BBM diberlakukan di Pulau Jawa saja, namundemikian alokasi dana pengganti subsidi tersebut hendaknya diarahkan ke luar Pulau Jawa untuk mengejar kesenjangan infrastruktur publik Pulau Jawa dan luar Jawa.
Ada dua alasan mengapa saya mengusulkan bahwa pencabutan subsidi ini diberlakukan secara regional, di Pulau Jawa saja. Yang pertama: meskipun saya tidak menghitung secara tepat berapa konsumsi BBM bersubsidi di Pulau Jawa namun berdasarkan logika bahwa penduduk Pulau Jawa meliputi 2/3 penduduk Indonesia secara otomatis angka konsumsi itu pun diperkirakan tidak berbeda jauh dari 2/3 konsumsi nasional. Mengingat infrastruktur di Pulau Jawa sudah maju saya menduga konsumsi BBM di Pulau Jawa lebih banyak digunakan untuk tujuan sekunder dan tersier. Hal itu dapat kita lihat setiap kali lebaran jutaan kendaraan pribadiyang menyebabkan kemacetan luar biasa hanya terjadi di Pulau Jawa.
Dengan dicabutnya subsidi saya meyakini konsumsi BBM di sektor tersier dan sekunder akan jauh lebih berkurang. Oleh karena infrastruktur di Pulau Jawa sudah sangat memadai maka pemerintah akan lebih mudah menata moda transportasi publik untuk kepentingan primer semacam angkutan umum dan angkutan barang.
Pertanyaannya kenapa hanya di Pulau Jawa dan subsidinya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa, bukankan ini suatu ketidakadilan dan berpotensi memecah belah anak bangsa?
Penjelasan dari pernyataan tersebutlah yang menjadi alasan yang kedua mengapa harus di Pulau Jawa saja. Bagi saya pernyataan ketidakadilan sudah sangat relevan saudara-saudara kita di Pulau Jawa. Karena justru saudara-saudara kita yang di luar Pulau Jawa lah yang seharusnya menanyakan keadilan itu dari dulu. Meskipun ketimpangan pembangunan itu sudah digambarkan sejak zaman pemberontakan PRRI di mana ada pameo bahwa di Medan jalan yang berlobang-lobang, sementara di Pulau Jawa (maaf) lobanglah yang berjalan-jalan. Namun karena menyadari bahwa NKRI harga mati maka sejak saat itu hampir tidak ada riak-riak kecemburuan yang menyebabkan desintegrasi bangsa. Oleh karena itu sudah saatnya Pulau Jawa mengalah untuk pemerataan pembangunan.
Saya tidak mengklaim bahwa sejak dahulu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papualah yang menopang Pulau Jawa. Akan tetapi alangkah eloknya kita memandang keadaan mereka secara objektif. Di saat di Pulau Jawa sudah biasa dengan yang namanya jalan tol akan tetapi masih banyak jalan negara di luar sana yang berlumpur, bahkan tidak lebih baik dari sekelas jalan kecamatan di Pulau Jawa.
Jika ketergantungan Pulau Jawa terhadap BBM tinggal satu arah maka saudara-saudara kita yang berada di pedalaman Papua dan Kalimantan hampir dari segala arah. Selain itu masih banyak wilayah di Sumatera dan Sulawesi yang belum tersentuh infrastruktur yang memadai.
Dampak dua arah itu selain disebabkan kekurangan infrastruktur yang memadai juga disebabkan bahwa perekonomian masyarakat luar Pulau Jawa hanya didominasi dan digerakkan oleh sektor pertanian. Hal ini berbeda dengan masyarakat Pulau Jawa yang lebih beragam. Industri yang tumbuh secara pesat di Pulau Jawa akan membuat penghasilan rata-rata penduduknya relatif stabil. Selain itu pangsa pasar yang luas dan infrastukturyang relatif bagus membuat sektor perdagangan dan jasa jauh lebih bisa berkembang dinamis. Kenaikan harga BBM hanya menurunkan daya beli mereka namun tidak akan mengurangi penghasilan mereka.
Namun coba tengok saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan hasil hutan. Bayangkan bagaimana mereka menghadapi dampak kenaikan BBM. Harga komoditi yang mereka punya akan tersunat disebabkan bertambahnya biaya angkutan barang. Tentu saja karena infrastruktur tadi, kita tidak bisa menyamakan biayanya dengan di Pulau Jawa. Biaya angkut antara Dieng-Semarang tidak bisa samakan dengan biaya angkut Putussibau-Pontianak. Biaya angkut antara Batu-Surabaya tidak bisa kita samakan dengan Tarakan-Samarinda apa lagi Papua-Wamena. Oleh karena itu para pedagang pengumpul komoditi petani tersebut tidak akan mau membebankan biaya tersebut pada dirinya sendiri. Dengan demikian mereka terpaksa menurunkan harga pokok pembelian kepada para petani.
Sementara itu sudahlah harga komoditi mereka dikebiri, di sisi lain kebutuhan hidup mereka akan produk yang didatangkan dari sektor industri yang umumnya berada di Pulau Jawa otomatis akan menjadi lebih mahal. Itu pun jika kita hanya mengkaji dari aspek pokok saja, bagaimana kalau kita mengkaji masalah pendidikan anak-anak mereka, perumahan mereka atau kesehatan mereka?
Oleh karena itu menurut saya jika keputusan mencabut subsidi BBM adalah sebuah keniscayaan, terapkanlah itu di Pulau Jawa secara bertahap. Lalu alihkan subsidi tersebut untuk mengejar pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa. Sementara tunda dulu pembangunan infrastruktur baru di Pulau Jawa. Meskipun perawatan infrastruktur tidak bisa dinafikan namun diyakini mahalnya BBM akan mengurangi volume kendaraan pribadi di jalanan Pulau Jawa sehingga pembangunan infrastruktur memang tidak diperlukan.
Jika Jokowi-JK mampu mengalihkan dana Rp. 300 Triliun/tahun atau paling tidak 70% saja dari subsidi BBM tersebut untuk pembangunan infrastruktur luar Pulau Jawa saya yakin 10 tahun lagi infrastruktur di luar Pulau Jawa akan menyamai pembangunan fisik Pulau Jawa. Dengan demikian baik Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa sama-sama merasakan dampak positif dari pembangunan nasional. Saat itu kita bisa menerapkan pencabutan subsidi BBM secara nasional. Namun jika kebijakan pencabutan subsidi BBM tersebut diberlakukan secara merata di seluruh Indonesia, kemudian pengalihan subsidi itu juga lebih banyak berputar di Pulau Jawa, Itu hanya akan membuat saudara-saudara kita di pelosok Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau terpencil lainnya akan semakin miskin dan terhimpit masalah ekonomi. Sementara pemerataan pembangunan yang didengungkan Jokowi bakal jauh panggang dari api. Lalu apa yang mereka dapatkan dari pencabutan subsidi BBM?
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H