Gharar adalah bahasa arab berarti akibat, bencana, bahaya, resiko, dan sebagainya. Sedangkan menurut arti istilahnya, al-Sarkhasi mendefinisikan gharar sebagai sesuatu yang tertutup akibatnya (tidak ada kejelasannya). Menurut imam Ibnu Taimiyah gharar itu dilibatkan apabila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan bisnis atau jual beli. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended mengandung unsur gharar.
Kitab suci Al-Qur'an dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain. Seperti firman Allah SWT. Dalam surat Al-An'am ayat 152 yang artinya "dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekeadar kesanggupanya."
Dan di sebutkan pula dalam surat Al-Mutaffifin ayat 1-5 yang artinya "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar." Dan juga dalam surat An-Nisa ayat 29 yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan pernaiagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
Secara umum, konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
- Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan. Pada jenis transaksi ini tidak ada jaminan bahwa penjual mampu mengantar barang-barang yang mungkin telah ia terima uang penjualannya, dikarenakan barangnya belum ada di tangannya atau ia sama sekali tidak mampu melakukan kontrol untuk mengirim barang tersebut. Contohnya: menjual ikan di dalam air, menjual burung di udara, menjual hewan yang masih dalam kandungan berupa janin, dan menjual tangkapan yang masih dalam perangkap. Semua jenis transaksi yang telah disebutkan diatas dan segala yang sejenisnya yang mengandung unsur gharar dilarang oleh Nabi. Tawar menawar harus dilakukan pada saat barang ada di tangan penjual. Apa yang belum pasti yang ada di air, udara, atau dalam kandungan yang belum ada atau lahir atau apa-apa yang ada diluar jangkauan tangan pembeli tidak dapat menjadi barang komoditas yang sah dalam transaksi menurut Hukum Islam.
- Kelompok kedua adalah unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya. Termasuk dalam kategori ini misalnya menjual susu dalam puting dan najsh. Najsh adalah sejenis penipuan dimana seseorang menawarkan suatu barang dengan harga tinggi yang tidak mempunyai maksud untuk membeli tetapi untuk menipu orang lain yang benar-benar bermaksud ingin membeli. Orang itu telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk ditipu. Penjual itu akan berbohong dengan mengatakan bahwa ia telah membeli barang tersebut dengan harga tinggi yang melebihi harga yang sesungguhnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa nabi melewati seseorang yang sedang menjual gandum. Nabi meletakkan tangannya pada tumpukan gandum tersebut dan menemukan bahwa bagian dalam tumpukan gandum tersebut adalah basah kemudian Nabi bersabda, "Orang yang menipu orang lain adalah bukan golonganku."
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua bentuk jual beli gharar dilarang ?
Hukum jual beli gharar dibagi menjadi tiga macam:
Pertama: jual beli gharar yang dilarang. Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Fatawa al-kubro membagi jual beli gharar yang dilarang ini dalam tiga macam, yaitu:
- Jual beli yang tidak ada barangnya (Al-Ma'dum), misalnya menjual janin hewan yang masih ada dalam kandungan. Sebagaimana yang terapar dalam hadits Ibnu Umar RA bahwa ia berkata "Nabi SAW melarang menjual anak dari anak yang berada dalam perut unta," (HR Al-Bukhari dan Muslim)
- Jual beli yang tidak bisa diserah terimakan (Al-Ma'juz 'an Taslimihi), contohnya budak yang lari dari tuannya, burung di udara, ikan di laut, mobil yang dicuri, serta barang yang masih dalam pengiriman.
- Jual beli yang ada ketidak jelasan (Al-Jahalah) baik pada barang, harga, dan akad jual belinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa ia berkata: "Rasululah SAW melarang jual beli al-hashah (dengan melepar batu) dan jual beli gharar." (HR. Muslim). Contohnya ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual mengatakan, "lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah tanah milkmu dengan harga sekian."
Kedua, jual beli gharar yang di perbolehkan. Jual beli gharar yang dibolehkan ini ada empat macam:
- Jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau
- Jika ghararnya sedikit, atau
- Masyarakat memaklumi hal tersebut karena di anggap sesuatu yang remeh
- Memang membutuhkan transaksi tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim: "Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat) Seperti seseorang tidak mengetahui pondasi rumah (yang dibelinya) begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang sedang hamil."
Ketiga, gharar yang masih di perselisihkan. Para ulama masih memperselisihkan tentang keharaman jual beli gharar ini karena gharar ini berada di tengah-tengah antara yang diharamkan dan dibolehkan. Sebagian ulama tidak memperbolehkan gharar ini seperti Imam Syafi'i, tetapi sebagian yang lain membolehkannya, seperti Imam Malik dan Ibnu Taimiyah. Contoh gharar ini menjual kacang, wortel, kentang atau umbi-umbian yang masih berada di dalam tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H