[caption id="attachment_162904" align="alignleft" width="180" caption="http://dyachang-dya.blogspot.com/"][/caption]
DULU, sepuluh tahun yang lalu dua kali lima belas menit Aku dan Ulfa memanfaatkan waktu untuk berbincang-bincang menjelang Bis Pelangi yang membawaku menuju Ibu Kota itu berangkat meninggalkan terminal Kutaraja. Suasana disana sebenarnya begitu padat dengan hiruk pikuk oleh suara kendaraan dan kesibukan banyak calon penumpang yang lain. Namun, keharuan begitu jelas terpancar dari dua pasang mata kami yang sangat memahami sepenuhnya bahwa perpisahan itu akan segera kami jelang. Sebuah pertanyaan yang sama menyelimuti benak kami berdua. Apakah ini pertemuan terakhir untuk cinta kami?
Detik-detik perpisahan selalu saja dibarengi kucuran air mata. Dan sepasang mata Ulfa yang indah saat itu pun kulihat membadai kala Ia hanya bisa melihat lambaian tanganku yang kian jauh menghilang meninggalkan dirinya. Mungkin dadanya terasa sesak dan ngilu melihatku yang dicintainya pergi begitu jauh dan tak menyisakan apapun untuk menghiasi malam-malamnya. Aku merasakan hal yang sama mulai detik pertama kepergianku. Kerinduan dan hanya kerinduan yang bisa dilahirkan oleh jenis perpisahan yang baru kujelang bersama wanita yang kucintai.
Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa memastikan pertemuan kembali bila perpisahan menghampiri dua insan yang sedang diselimuti cinta. Karena, cinta tak bisa diramalkan arahnya. Kadang kala ia bisa muncul tiba-tiba tanpa disadari dan segera lenyap esok hari. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi pecinta sejati untuk terus menjaga ritme sebuah hubungan agar tetap bersemi meskipun badai sering menerjang. Namun semua itu butuh perjuangan dan pembuktian yang lebih.
Perbaikan masa depan sama halnya dengan upaya mencegah kemiskinan. Untuk sebuah alasan seperti itu kegembiraan raga dan jiwa harus dikorbankan. Asa dan impian butuh energi besar buat direalisasikan. Aku berat meninggalkan Ulfa sendirian saat asmara kian besar mengembang. Dua hari yang lalu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi dan informasi di Jakarta. Ulfa pun tak mau berkata tidak untuk melepasku dengan perasaan tulus.
Kini, setelah satu dasawarsa itu berlalu. Aku dan Ulfa gagal menaklukkan ganasnya gelombong hubungan jarak jauh. Kami berpisah untuk selamanya. Aku hanya melihatnya terakhir kali sebagai orang yang kucintai sepuluh tahun yang lalu. Dan saat kami bertemu lagi itu pun hanya satu kali dengan durasi waktu yang lebih singkat dari pertemuan terakhir kami dulu. Keluarga yang telah sama-sama kami miliki adalah benteng pemisah sacral yang tak mungkin kami hancurkan lagi untuk membuat kami bersatu.
Masih segar ingatanku akan kalimat terakhir yang dituturkan Ulfa saat itu bahwa air matanya yang deras adalah pertanda bencana bagi hatinya. Dia melihatku untuk terakhir kali dan sisanya adalah perpisahan untuk selamanya. Menyakitkan! Namun,Aku selalu saja terbiasa mengenang dua bola mata indah milik Ulfa lengkap dengan tangisan terakhir yang menjadi kenangan terindah yang selalu kuingat sampai kapanpun. Aku begitu merindukan tangisan itu. Terlintas tiga tanya; mengapa, untuk apa dan sampai kapan ia kurindukan. Aku tak punya jawaban!
Banda Aceh, 09 Juni 2010.[Bahagia Arbi]
Jangan lupa singgah ke tulisan saya yang lain tentang Ulfa disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H