Sebuah Refleksi Atas Rapuhnya Barisan Depan Pemerintahan ACEH.
[caption id="attachment_218452" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi Dari Om Google Nih"][/caption] TULISAN INI tak punya maksud sama sekali ingin mengulas kegagalan pemerintahan Aceh saat ini di tangan Drh. Irwandi Yusuf, Msc. dan wakil beliau Muhammad Nazar, S.Ag. karena saya tak punya daftar rinci andai pun diminta membicarakannya saya tak ingin membuang-buang waktu. Bukan pun saya ingin melakukan sebuah perbandingan kecepatan lari keduanya yang kini sedang berkonsentrasi menuntaskan masa kepemerintahannya yang hampir 4 (empat) tahun. Tetapi tulisan ini hanya ingin menggaris bawahi beberapa hal penting menyangkut kebijakan-kebijakan yang telah dibuat mereka selama masa jabatannya yang masih berjalan hingga kini. Dalam olahraga bola sepak, seorang pemain depan yang harganya mahal belum tentu punya naluri tajam menguak jala gawang lawan, bukan?
Sepertinya pepatah asing yang berbunyi, “Roma tidak dibangun dalam sehari” sudah lama saya tahu dan bahkan saya tulis di dinding kamar saya saat saya masih belajar di Sekolah Dasar. Saya sudah lama setuju dengan kalimat jenis ini. Semua bentuk pekerjaan atau pun tugas butuh waktu untuk diselesaikan. Namun, ada kalanya kita harus kritis menyikapi setiap kebijakan pemerintah jika hak-hak kita ingin terpenuhi.
Dalam konteks Aceh, jika kita bicara kebijakan Pemerintahnya memang butuh sikap kritis atas implementasinya. Mengapa? Aceh punya banyak tenaga untuk lari lebih kencang setelah musibah ganda menimpanya. Gempa bumi dahsyat disusul gelombang besar yang sangat kuat membuatnya berubah. Konflik puluhan tahun usai sudah karena kesepakatan damai antara pejuang kemerdekaan Aceh dan Pemerintahan negara beribu pulau ini dibuat. Aceh menjadi tajir. Uang ada dimana-mana. Mudah ditemui lewat spanduk dan Koran-koran. Semua stasiun TV mengulas tuntas kisahnya. Namun, Aceh tetaplah Aceh. Dana besar tak bisa membuat rakyatnya hidup nyaman. Masalah Pendidikan dan kesehatan masih saja menjadi masalah besar yang belum bisa diubah kisah getirnya.
Nasib dunia pendidikan Aceh belum bisa dipastikan masa depannya. Biaya pendidikan yang kian tinggi dan masih banyak anak-anak yang tidak bisa merasakan bangku sekolah adalah bukti pasangan duet independen ini telah gagal membangun Aceh lepas dari masa keterpurukannya. Belum lagi kita bicara berapa banyak anak-anak yang harus melihat dengan mata penuh harap pada teman-temannya yang berangkat ke sekolah setiap hari.
Sampai kapan aku, kamu, dan kalian, seluruh masyarakat Aceh mendukung pasangan ini?
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H