Sebelumnya, jika ada cara memohon maaf terbesar dan terhebat di dunia ini maka saya akan memohon maaf dengan cara itu kepada Anda semua para pembaca artikel penulis kelas nyamuk seperti saya ini. Tapi, tolong jangan anggap saya sedang tidak waras karena sesungguhnya rasa duka saya atas musibah di Indonesia kian dalam. Ungkapan kata-kata dalam tulisan saya kali ini mohon dipahami dengan bijak karena saya adalah putra Indonesia yang sedang berdoa untuk kebaikan kita semua. Semoga Anda semua memakluminya. Mari kita jalan-jalan.
INDONESIA terus berduka. Bulan Oktober menjadi sungai air mata di Wasior pada 08 Oktober 2010 dengan banjir bandangnya yang disusul Gempa kuat pada 25 Oktober 2010 dan berakhir dengan Tsunami sehari berselang bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi di kawasan Jawa Tengan dan Yogyakarta. Betapa kejadian menyedihkan itu terjadi begitu saja tanpa bisa kita cegah sedikitkin pun. Malahan, letusan susulan Gunung Merapi yang terjadi pada jam 00:30 dini hari Jum'at Tanggal 05 November 2010 adalah kesahihan lemahnya kita melawan Alam yang dikordinir Sang Pencipta. Tentu saja air mata sudah tak cukup menjawab semuanya. Kita butuh dari sekedar semua itu karena kecintaan besar kita pada Indonesia ini sedang dicoba oleh-Nya. Sebenarnya, ketika musibah besar Gempa & Tsunami yang meluluh lantakkan beberapa kawasan di Propinsi Aceh dan Kepulauan Nias di Sumatra Utara telah memberikan kita pengalaman berharga bagaimana menghadapi bencana. Penanganan Pasca Bencana kala itu berlangsung begitu menghebohkan. Hampir seluruh Organisasi Donor dan Lembaga Kemanusian di Dunia hadir ke lokasi bencana baik di Aceh dan Kepulauan Nias. Program-program pemulihan korban lewat Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dibentuk Pemerintah lewat "Master Plan" yang sangat mahal. Dana hibah dan pinjaman yang jumlahnya sangat besar pun seolah menjadi taruhan bagi masa depan Bangsa ini. Resiko Pengurangan Bencana atau Disaster Risk Reduction (DRR) adalah satu program paling bahenol diimplementasikan sebagai bagian dari program pengembangan paska tanggap darurat. Seminar, wokshop, Training of Trainer (ToT), Pengkaderan Relawan Bencana, dan banyak lagi istilah yang baru bagi kita muncul begitu saja. Tujuan yang menggaris bawahi program DRR itu pun seakan sah tanpa bisa ditawar yaitu mengurangi korban jiwa bila bencana kembali terjadi. Lalu, Lembaga-lembaga (LSM) pun lahir bagai jamur di musim hujan yang disambut ucapan selmat datang oleh Para Lembaga Donor/Funding dan Oraganisasi Non-Pemerintah berbendera asing yang untuk menjadi mitra kerja. Program DRR tadi pun didiskusikan untuk segera dijalankan karena mendesak bila bencana serupa datang Bangsa ini akan siap dan tidak kalang kabut lagi. Program ringan seperti pelatihan dan Seminar seakan menjadi santapan sehari-hari masyarakat di Aceh dan Nias. Lalu, bangunan Fisik seperti Gedung Penyelamatan Tsunami yang dulunya asing menjadi sangat familiar berdiri hampir di setiap tepi pantai. Dan bersamaan dengan itu banyak Menara Sistem Peringatan Dini Tsunami atau Tsunami Early Warning System (TEWS) pun didirikan berjejer di wilayah pantai Banda Aceh dan Aceh Besar.  Di wilayah kota Banda Aceh sendiri menara system peringatan dini tsunami terdapat didepan kantor gubernur Lampineung, Ulhee Lheu dan desa Lampulo. Sedangkan untuk di Aceh Besar terdapat di desa Kahju, Peukan Bada dan Lhok'nga. Menara sistem peringatan dini tsunami menggunakan teknologi FM-RDS (Frequency Modulation Radio Broadcast Data) dan hanya dimiliki oleh tiga Provinsi di Indonesia yaitu Aceh, Bali dan Padang. Sistem peringatan dini tsunami tersebut di khususkan untuk gempa dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter dan sistem peringatan dini itu akan mengirimkan sinyal ke BMG yang berada di Jakarta melalui satelit dan kemudian akan diteruskan kepada pemerintah setempat untuk disebarluaskan kepada masyarakat jika berpotensi menimbulkan tsunami. Cukup, saya tak mau lebih jauh membuat Anda bingung. Untuk apa saya banyak mengulas Program DRR yang gagal itu? Sebaiknya kita semua fokus pada penanganan korban yang ada di Wasior, Merapi dan Mentawai. Bantuan makanan dan pakaian untuk orang tua, bayi, dan balita sedang sangat dibutuhkan. Obat-obatan dan tenaga medis juga banyak diperlukan. Pertanyaannya adalah sudahkah Anda berbuat sesuatu untuk membantu meringankan derita saudara-saudara kita? Jika kita tak bisa menyumbang dana/barang, kalau pun kita tak sanggup menjangkau wilayah bencana untuk membantu secara fisik, maka sepatong doa yang terucap dari mulut kita adalah sesuatu yang tak kalah besar manfaatnya. Semoga Tuhan masih belum bosan memberi rakmat dan nikmat kepada kita semua. Dan alam segera mau berjabat tangan tanda tak lagi kejam pada saudara-saudara kita yang terlanjur menjadi agen perusak berlabel bangsat itu. Salam duka yang dalam dari Aceh.[Bahagia Arbi] Sumber gambar: images.google.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H