Mohon tunggu...
Arbi Sabi Syah
Arbi Sabi Syah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis Komparatif.id

Jurnalis Komparatif.id dan Kreator Konten Media Sosial Blockchain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aceh Memasuki Musim Panen Konflik?

29 Juli 2011   12:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:16 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh masih belum jelas kapan pelaksanaannya. Sejauh ini,belum ada pernyataan resmi dari Presiden RI yang menyatakan bahwa Pemilukada di Aceh akan dilangsungkan sesuai tahapannya yang sedang berlangsung atau malah harus ditunda dulu karena pertimbangan dikhawatirkan akan terjadi konflik.

Menilik kata konflik dalam pesta demokrasi seakan-akan menggiring kita untuk berpikir bahwa konflik itu adalah sesuatu yang akan dinikmati karena musimnya sudah tiba. Dan jika Pemilukada Aceh tahun ini  menjadikan Aceh sebagai daerah yang akan menikmati musim panen konflik,  maka layak kita doakan bersama agar musim panen itu pun gagal. Namun, jika pilihan Kepala Daerah di Aceh dikhawatirkan akan berlangsung ricuh dan menimbulkan korban jiwa, apakah kita juga harus berdoa agar ditunda saja Pemilukada di Aceh?

Memang, konflik politik di daerah akan berbeda dengan konflik yang terjadi di tingkat pusat dan kota-kota besar saja. Bahkan sering para pengamat politik lebih memfokuskan pendapatnya kepada pertikaian elit politik di tingkat pusat saja, karena menurut mereka konflik itu tak langsung bisa dirasakan olah masyarakat lokal. Jika, perebutan kekuasaan antar kubu partai politik mungkin pendapat pengamat politik itu benar. Rakyat di daerah tak bisa rasakan apapun. Bagaimana bila konflik politik yang terjadi di daerah seperti Aceh mengarah pada tindak kekerasan yang memakan korban dari pelaku politik itu sendiri? Bukankah sebagai masyarakat Aceh kita juga akan rasakan dampak dari teror-teror yang terjadi karena proses politik itu?

Aceh belum normal. Aceh masih belum aman. Belum ada kenyamanan yang sebenarnya untuk hidup di Aceh. Dan tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan maklumat Presiden, Gubernur Aceh, dan berbagai pihak terhadap keadaan Aceh yang sudah normal. Mereka beranggapan bahwa tak ada lagi pertikaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena kesepakatan damai telah dibuat di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Apakah kesepakatan damai itu telah membuat rakyat Aceh hidup aman dan tenteram? Belum ! Aceh masih belum normal.

Musim panen konflik itu telah terlihat sejak Amiruddin Husen atau Saiful alias Cage yang merupakan salah satu mantan tokoh paling berpengaruh dalam tubuh GAM ditembak pada Sabtu malam (22/7) sekitar pukul 23.00 WIB. Menurut penulis, jalan menuju konflik di Aceh telah bisa dilalui walau masih belum lancar !

Aceh telah dipermainkan pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan jika daerah ini kembali menjadi daerah konflik.  Aceh seharusnya menjadi kuat dengan menjadi Aceh sejatinya agar tak mudah dipermainkan begini. Tidak sepantasnya tokoh-tokoh utama dalam pembangunan Aceh dapat diadu domba seperti sebuah bola yang dapat ditendang sana sini.

Sekali lagi penulis katakan bahwa kesalahan fatal Aceh adalah ketika pemerintah memaklumatkan bahwa aceh sudah normal lagi. Padahal semua orang tahu bahwa perdamaian yang terjadi di Aceh itu sangat rapuh. Damai Aceh adalah sebuah masa transisi terakhir yang tangganya masih sangat rapuh. Dimana-mana negeri yang masih rapuh, kelompok yang masih labil. Inilah sebuah affirmasi action. Jadi, Aceh tak bisa dengan serta merta didesak dengan pendekatan normal.

Memang, bagi pemerintah pernyataan normal bisa jadi semacam indikator bahwa segala persoalan di Aceh sudah dapat diselesaikan. Hal Itu hanyalah sebuah metoda statistik saja. Tetapi fakta lapangan tidak dibaca sama sekali dan Pemerintah hanya membacanya seperti peta biasa saja. Konflik baru yang akan terjadi di Aceh nantinya adalah efek dari kerapuhan pemerintahan yang telah menganggap remeh dan merasa mampu mengendalikan semuanya dengan mudah. Seharusnya Pemerintah Pusat dan Aceh tidak menganggap perawatan perdamaian di Aceh itu semudah memegang setir mobil Rubicon.

Dendam sosial yang telah  mendarah daging pasti akan membuahkan benci dan marah yang pada akhirnya membuat diri menjadi terbatas dan dibatasi. Lupa bahwa perbedaan itu adalah anugerah dari-Nya dan tidak ada yang patut disalahkan. Kapan mau naik "kelas"! Kapan Aceh ini bisa maju dan terlepas dari segala kebodohan?!

Kita berharap agar Aceh tidak memasuki masa panen konflik andai pun Pemilikada dilanjutkan sesuai tahapan yang sedang dijalankan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Kita akan sangat malu jika konflik kembali terjadi di Aceh. Sudah seharusnya Pemerintah Aceh, Legislatif Aceh, dan para elit politik lokal dapat menyusun langkah-langkah mengatur agar konflik yang telah ada menjalar tidak menjadi konflik yang besar seperti dulu. Konflik yang bersumber dari sikap premanisme politik dan pemaksaan kehendak sungguh tak layak terjadi di Aceh. Sekali lagi, musim panen konflik di Aceh harus kita doakan gagal karena hasil panennya akan sungguh memalukan Aceh di mata semua orang di dunia.

Tulisan ini telah dimuat di Media Online: The Globe Journal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun