Mohon tunggu...
Arbi Sabi Syah
Arbi Sabi Syah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis Komparatif.id

Jurnalis Komparatif.id dan Kreator Konten Media Sosial Blockchain.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mereka Bilang Aku “Gembrot!”

22 Maret 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bila orang melihat bagaimana keadaanku sekarang ini, tidak akan pernah ada yang percaya dengan pengalaman pahit serta penderitaan yang harus kualami di masa kecilku. Sebuah mimpi buruk yang mungkin terlalu berat bila dibandingkan dengan kejadian yang menimpa kebanyakan anak-anak lain seusiaku waktu itu.

Aku anak yang selalu menjadi perhatian banyak orang. Bukan karena aku cantik atau menarik, tetapi karena aku adalah seorang anak yang gemuk dan jelek. Tubuhku bulat dan besar. Tidak ada satu orang pun yang pernah memanggilku "cantik" atau "manis", kebanyakan memanggilku dengan sebutan "gendut" atau "gembrot".

Bahkan kedua orangtuaku pun tidak pernah memuji diriku. Tak ada pujian sama sekali karena mereka memang bukan orang yang terbiasa memuji penampilan fisik. Mereka lebih suka memuji kemampuan belajar dan olahraga. Sebuah tipikal khas orang tua kami. Dan sama sekali aku tak menyimpan dendam untuk semua itu kepada mereka. Buat apa aku harus dendam pada dua sosok penting dibalik keberadaanku di dunia ini? Walaupun begitu, dalam hati kecilku, aku juga ingin menjadi seorang Cinderella atau Putri Putih Salju. Aku ingin dibilang langsing. Aku ingin dibilang cantik. Aku butuh puja-puji karena aku adalah manusia.

Lebih parahnya lagi, orang-orang yang paling sering mengata-ngataiku justru datang bukan dari luar. Kebanyakan justru masih saudara atau kerabat dekatku sendiri yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Makanya aku tidak begitu senang jika harus bertemu dan berkumpul dengan mereka. Pasti ada saja yang melontarkan kata-kata tidak enak itu padaku walau hanya berbentuk sindiran-sindiran yang maknanya tentu saja; aku "gendut".

Kakak laki-lakiku, Dimas, juga sering mengolok-olokku. Setiap kali ada kesempatan, dia pasti akan mengataiku "gendut". Yang lebih menyebalkannya lagi, dia justru semakin menjadi bila seluruh saudara dan keluarga besar sedang berkumpul bersama. Akhirnya semua jadi ikut mengolok-olok diriku. Aku bagaikan mainan yang selalu dilisankan mulut busuk mereka. Saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan memendam semuanya dalam hatiku saja.

Aku juga tidak bisa mengadu kepada siapa-siapa karena aku memang dididik untuk selalu bisa menyelesaikan masalah sendiri. Papa sangat keras dalam hal ini dan aku pun terlalu malu untuk bercerita kepada orang lain. Aku tidak mau dianggap cengeng dan tidak mau menjadi bahan tertawaan yang lebih parah lagi. Satu hal yang kupikirkan saat itu adalah mengapa ada orang yang tega membicarakan kejelekanku yang merupakan keluarga dekat mereka. Mereka tak pernah berpikir sama sekali bahwa membicarakan keluarga sendiri kepada orang lain berarti mereka telah menghitamkan dirinya sendiri.

Papa juga termasuk orang yang sangat keras dalam mendidik kami agar disiplin dan mematuhi semua peraturan yang dibuatnya. Bila ada salah satu dari kami bertiga yang melanggar, bukan hanya dia yang mendapat hukuman, tetapi kami semua ikut merasakan juga.

Pernah, suatu hari aku dan kakak-kakakku pergi naik ke lantai paling atas rumah kami. Dalam beberapa kesempatan, Papa sudah melarang kami untuk tidak pergi ke sana karena memang sangat berbahaya untuk anak-anak seusia kami. Namun rasa penasaran kami yang begitu besar dan kami ingin tahu apa yang ada di lantai atas itu, dan ditambah lagi oleh bujuk rayu kedua kakakku, aku pun ikut ke sana. Entah bagaimana, kami tidak menyadari bahwa papa pulang cepat pada hari itu dan tahu kalau kami sedang berada di lantai atas rumah kami. Papa sangat marah dan kami pun mendapat hukuman. Kami harus merelakan tangan kami dipukul dengan rotan berkali-kali. Sakit?!? Tentu!!

Sialnya lagi, karena waktu itu aku masih berumur kurang lebih lima tahun dan masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak, aku masih belum begitu mengenal angka. Aku belum tahu angka mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil jumlahnya. Jadi, sewaktu papa bertanya berapa - berapa banyak pukulan yang patut aku terima - aku tidak bisa menjawab. Kemudian kakakku yang laki-laki bilang lima, dan aku pun menjawab lima. Jadilah aku terkena pukulan lima kali.

Aku tidak merasa terbebani dengan masalah pukulan ini. Walaupun sakit, aku bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku memang salah. Aku telah melanggar apa yang telah dilarang oleh papa. Aku memang patut mendapatkan hukuman itu, pikirku waktu itu.

Keadaan paling pahit yang harus kurasakan adalah sewaktu aku sekolah di Malaysia. Biarpun aku pergi memang berdasarkan keinginanku sendiri, tapi aku sama sekali tidak tahu apa yang bakal terjadi menimpa diriku di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun