Ada juga lukisan ilustrasi musyawarah jalur rempah sri Baduga Maharaja yang diawali dengan jatuhnya kota Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Tak ketinggalan pula lukisan yang menggambarkan perjanjian internasional pertama antara sunda dan Portugal.
Tak hanya lukisan, kali ini saya bertemu sebuah naskah perjanjian dagang. Isinya kerjasama dagang sekaligus perjanjian politik antara kerajaan Pajajaran dan kerajaan Portugal. Naskah ini sendiri didapat dari arsip nasional Portugal.
Dari arah berlawanan sebuah replika prasasti Batutulis Bogor dengan tinggi kira-kira 1.5 meter berdiri gagah di sebelah lukisan runtuhnya kerajaan Pajajaran. Prasasti ini menjadi wujud abadi sebuah penyesalan dan permintaan maaf Prabu Surawisesa kepada ayahandanya karena gagal mempertahankan kerajaan Pajajaran.
Setelah Pajajaran lenyap ditelan rerimbunan hutan, bangsa Eropa mulai berdatangan, pertanda dimulainya era kolonialisme. Di era ini tonggak awal bangunan-bangunan bersejarah di kota Bogor didirikan. Sebuah replika istana Bogor dengan nama Buitenzorg Palace 1821 dipamerkan. Buitenzorg sendiri artinya bebas masalah dan kesulitan. Ketika itu kota Bogor memang menjadi tempat pilihan gubernur jenderal Belanda untuk beristirahat.
Beberapa peristiwa sejarah juga diabadikan dalam bentuk lukisan seperti "Pembangunan Jalan Pos Daendels", "Perlawanan Besar Kiyai Tapa" dan "Penangkapan Raden Saleh" serta Ilustrasi lukisan Raden Saleh yang tengah melukis "Penangkapan Pangeran Diponegoro".
Berbeda dari kawan-kawannya yang diilustrasikan lewat lukisan, kebijakan Wijkenstelsel yang pernah dibuat oleh pemerintah kolonial divisualisasikan dengan pembuatan peta wilayah dengan tambahan efek lampu hias.
Kebijakan Wijkenstelsel adalah sebuah kebijakan yang memisahkan pemukiman etnis-etnis yang ada di Bogor. Etnis-etnis yang dimaksud antara lain Eropa, Cina dan Arab. Hal ini dimaksudkan agar etnis-etnis tersebut tidak saling berbaur dan melakukan pertukaran informasi dan budaya. Pemerintah pada era itu menilai percampuran antar etnis cukup membahayakan.