Hobi yang dibayar adalah kalimat kelas langit yang banyak diagung-agungkan oleh mereka yang bekerja di industri kreatif, tak terkecuali penulis. Mendapat royalti dari menulis bukan main rasanya, bukan? Bahkan saya pernah membahasnya dalam artikel berjudul "Honor Menulis, Seribu Rasa Sejuta". Kalau kawan-kawan senggang, bolehlah dibaca.
Tapi realita memang tak seindah drama Korea. Untuk penulis awam semacam saya, nilai royalti yang didapat tentu hanya cukup untuk ngopi bersama teman-teman sejawat. Tidak bermaksud mengenarilsasi, karena fakta sebaliknya ada penulis yang memang benar bisa hidup dari tulisannya dan bahkan kaya raya. Sebut saja J.K Rowling.
Di tahun 2019, Forbes mencatat Rowling sebagai penulis dengan bayaran tertinggi di dunia, dengan perkiraan pendapatan sebesar 92 juta dolar AS (Rp 1,3 triliun) selama Juni 2018-Juni 2019. (kumparan.com)
Dengan uang senilai itu tentu saya mampu membeli Lamborghini Aventador serta penthouse seharga 5M. Tapi alih-alih bersaing dengan J.K Rowling, bersaing untuk mendapat peringkat 1 K-Rewards di Kompasiana saja susahnya minta ampun. Padahal misal pun bisa no. 1 di K-Rewards, belum tentu bisa memenuhi kebutuhan seseorang dalam satu bulan. Ujung-ujungnya tetap mencari sabetan sana sini sebagai freelance writer.
Rupanya label "kuli tinta" masih terus menghantui para penulis -khususnya di negeri dengan tingkat baca yang rendah seperti Indonesia.
Dalam sebuah diskusi santai antara kepala suku Mojok Puthut EA bersama Butet Kartaredjasa yang berjudul "Butet Kartaredjasa, Seniman yang Menolak Kemalasan," disinggung mengenai seniman kejar setoran.
Kata Butet "..kalau aku jadi seniman, aku harus punya basis ekonomi, Â supaya kesenianku tidak kejar setoran."
Itulah kalimat paling realistis yang cocok untuk mengalahkan ambisi dibalik kata-kata"hobi yang dibayar". Itu juga ide cemerlang untuk menuntaskan keresahan para penulis yang minim pendapatan.
Bukankah menulis akan lebih nyaman dan ringan jika tidak ditunggangi beban kejar setoran? Kalaupun semisal menghasilkan cuan, anggaplah itu bonus, atau kalau kata Pak Butet, uang dan kekayaan yang didapat adalah "akibat".
Menulis tanpa beban dan tekanan memang terdengar seperti sebuah skema yang indah. Tapi untuk itu tentu saja kita perlu bekerja atau berpenghasilan dari bidang lain. Apa bidangnya, terserah. Setiap orang lebih tahu kapasitas dan kemampuannya sendiri-sendiri.
Memang tak mudah, adakalanya pertanyaan "mengapa harus bekerja di bidang lain yang tak disuka dan bukannya malah menekuni apa yang benar-benar disuka"akan selalu datang menghantui tak hanya sekali dua kali.